Sunday, June 19, 2005

TENTANG MANIFES KEBUDAYAAN

[Kepada Aguk Irawan Mn]


Sekalipun pernyataan saya ini bukan suatu argumen, tapi saya merasa perlu menggarisbawahinya bahwa berdasarkan pengalaman selama beberapa dasawarsa, telah membuat saya pribadi banyak menaruh dan mempunyai harapan serta gembira berkenalan dengan Bung. Tapi perlu juga Bung ketahui bahwa sikap dan perasaan ini tidak pernah menjadi pagar yang menghalang saya mengajukan pendapat. Barangkali saya akan dituding terlalu "Yogyakarta-sentris" kalau mengatakan bahwa "demikianlah tradisi Republik Beringharjo" di mana sebagai anak muda (waktu itu saya berusia sekitar 20-an tahun, lebih muda dari Bung sekarang) mengikuti diskusi-diskusi terbuka dan bebas sesama seniman kota yang mengasuh saya dan tak terlupakan seumur hidup. Justru karena saya menaruh harapan besar kepada Bung dan kelompok Bung maka sesuai dengan tradisi "Republik Beringharjo" [yang sekarang mungkin telah pupus, mudah-mudahan tidak!] baris-baris ini saya tuliskan.

Bagi saya tradisi "Republik Beringharjo" adalah suatu tradisi warga "republik berdaulat sastra-seni" dan juga tradisi menghormati serta menjunjung keragaman dan setiakawan manusiawi. Saya mengenangnya dengan kebanggaan dan kerinduan bahwa semua yang pernah hadir dari berbagai angkatan kemudian menunjukkan kesetiaan pada ide dan dan tradisi ini tak perduli dari alur pikiran apa yang mereka telusuri. Hal ini saya rasa perlu sampaikan, karena sering saya dapatkan tidak sedikit orang yang tumbuh pada masa Orde Baru menganggap kritik atau penyampaian pendapat berbeda atau sanggahan dipandang sebagai "meludahi muka seseorang". Tapi tentu saja saya percaya Aguk Irawan Mn bukan tipe manusia seperti itu. Saya percaya Aguk memamahami benar bahwa justru kritik, pengajuan sanggahan sebagai ujud dari kasihsayang , solidaritas dan perkawanan tulus dan meyakini bahwa perbedaan pendapat itu wajar. Sedangkan perkawanan menetapkan cara pengajuan pendapat dan sanggahan sesuai dengan sifat kontradiksi , jika mau berbicara secara filosofi.

Kalau memasuki masalah, maka Aguk benar bahwa "manifes kebudayaan" bisa "berwayuh arti" jika menggunakan istilah sosiolog Gadjah Mada, Djojodiguno almarhum. Oleh adanya wayuhan arti ini, maka Aguk benar dengan menggunakan istilah tersebut ia memasukkan empat manifes yang disebutkannya [lihat: lampiran]. Hanya saja penjelasan ini baru muncul belakangan, dan tidak diberikan isyarat dalam artikel Aguk yang diturunkan oleh Harian Sinar Harapan, Jakarta. Barangkali Aguk kurang waspada atau sengaja, hanya Aguk yang tahu, bahwa di negeri ini, kalau saya tidak salah, jika orang menyebut Manifes Kebudayaan maka serta-merta pembaca atau pendengar akan digiring kepada Manifes Kebudayaan yang oleh Pramoedya A. Toer secara sinis disingkat Manikebu. Jika Aguk memaksudkan dengan istilah "manifes kebudayaan" di luar persetujuan konvensional itu, barangkali penggunaan demikian perlu penjelasan sedikit jika tidak mau dikategorikan pada jargon.

Kalau Aguk menulis:"Pembuktian ini dilakukan dengan menganalisa dan membandingkan manifes-manifes kebudayaan itu. (studi kepustakaan ini yang dikategorikan sebagai sumber primer soal MANIKEBU-Pendahuluan Kratz), maka saya ingin memberi komentar bahwa yang disebut sumber kepustakaan apalagi dari Kratz yang masih muda dari segi usia dan orang asing, bukanlah jaminan kebenaran. Denys Lombard, guru dan sahabat saya dalam sebuah kuliahnya di l'Ecole des Hautes Etudes En Sciences Sociales" [l'EHESS], Paris, pernah mengatakan secara tandas, agar "janganlah para Indonesianis merasa diri bahwa pengetahuan mereka tentang Indonesia melebihi orang Indonesia mengetahui soal Indonesia". Saya termasuk orang yang tidak menganggap bahwa ucapan dan pendapat para Indonesianis Barat sebnagai kebenaran tak tergugat. Saya juga tidak mendewakan mereka. Mereka tidak luput dari kesalahan baik dalam istilah maupun dalam analisa. Hal ini bisa kita beberkan dengan mengusut sejarah. Dalam sastra misalnya, kapan mereka mau mengakui bahwa sastra Indonesia tidak dimulai oleh Balai Pustaka kalau tidak dilawan? Pendapat ini dengan keras ditentang oleh Lekra [lihat: Bakri Siregar, "Sejarah Sastra Indonesia, I", Yayasan Pembaharuan, Jakarta, 1964; HR Minggu, Jakarta, Zaman Baru, Jakarta, dokumen-dokumen Lekra] dan baru pada masa terakhir ini diakui sebagai sastrawan Indonesia nama-nama seperti Mas Marco, Semaun dan lain-lain, dan inipun belum tentu diterima oleh para kritikus serta sarjana sastra Indonesia.Artinya para Indonesianis Barat sadar atau tidak sadar, sesuai dengan kepentingan politik negeri mereka, ingin mendiktekan pendapat dan konsep mereka tentang sejarah kita.

Dalam ilmu politik, para Indonesianis Barat mengatakan bahwa yang bisa menjadi presiden Indonesia jika mereka memenuhi tiga syarat: Jawa, Islam dan militer. Ketika Habibie, Gus Dur, Megawati menjadi presiden apakah ada koreksi terbuka atas teori mereka? Contoh lain, yang ingin saya angkat adalah istilah "aksi polisionil" dan "aksi militer". Ketika menterjemahkan karya Pramoedya A.Toer, seorang Indonesianis Perancis berkonsultasi dengan seorang teman saya dari Koperasi Restoran Indonesia, Paris. Indonesianis Perancis itu ingin menggunakan istilah "aksi polisionil" guna melukiskan agresi kolonnialis Belanda terhadap Republik Indonesia yang waktu itu beribukotakan Yogyakarta. Mendengar ide itu, saya yang sedang ngepel lantai, berhenti karena tidak bisa menahan diri oleh sikap dan pandangan Indonesianis Perancis itu. Saya katakan: "Anda boleh menterjemahkan agresi kolonialis dengan "aksi polisionil". Tapi saya ingatkan bahwa secara wawasan "agresi militer" dan "aksi polisionil" itu sangat berbeda dan mempunyai konsekwensi berbeda. Perlu diketahui bahwa Pramoedya bukan budak Belanda.

Belum lagi kalau kita ingat betapa para Indonesianis Barat yang memandang bahwa orang Melayu itu pemalas dan orang Jawa itu tidak punya tradisi berlawan, pendapat-pendapat yang senantiasa saya tentang. Perumusan-perumusan dangkal dan jauh dari kenyataan serta menghina. Dan masih banyak contoh lagi yang menunjukkan betapa pendapat para Indonesianis Barat patut didengar dan dibaca secara awas.

Dengan ini, saya ingin mengatakan bahwa pendapat para Indonesianis Barat tidaklah sama dengan kebenaran. Sebagai orang yang bisa berpikir, selayaknya kita bersikap kritis termasuk terhadap pendapat Kratz. Mereka, para Indonesianis Barat itu tidak lebih hebat dari orang Indonesia dalam pengetahuan mengenai negeri kita sendiri. Saya khawatir jika kita membuta pada pendapat para Indonesianis Barat, kita digiring ke arah yang mereka inginkan atas nama ilmu sosial. Dengan kata lain kita dijajah atau terjajah atau sukarela jadi budakbelian mereka. Dampaknya, kita akan secara sukarela menyerahkan diri dan buntutnya, Indonesia pun jadi negeri jajahan model baru. Berpikiran bebas bagi saya tidak lain dari sikap kritis, termasuk pada pendapat para Indonesianis Barat.

Saya pernah bertatapan muka dengan Kratz di Paris dan saya tidak menggaguminya walaupun saya menghargai usahanya sebagai dokumentalis yang orang Indonesia sendiri pun bisa lakukan, misalnya seperti yang dilakukan oleh H.B.Jassin. Yang dilakukan oleh H.B.Jassin tidak kalah penting dari yang dilakukan oleh Kratz. Secara pemikiran dan pengenalan lapangan justru saya lebih menghargai Aguk daripada Kratz. Dalam syarat minimum sekali Aguk yang lebih mengenal Indonesia daripada Kratz bagi saya jauh lebih bermakna daripada Kratz yang bekerja dengan syarat berkecukupan. Aguk bekerja untuk Indonesia dengan syarat-syarat minimal dan demi Indonesia yang diimpikannya, Kratz bekerja untuk karir dirinya atas nama ilmu sosial dan oleh keterbatasan pengenalannya bisa [mungkin tidak sadar] memutarbalikkan, mengacaukan kenyataan, melalui tafsiran-tasirannya bisa menjerumuskan. Pendapat Kratz dan para Indonesianis lain, sebaiknya tidak lebih kita jadikan bahan acuan dan tidak usah ditelan mentah-mentah. Mereka tidak lebih hebat dari orang Indonesia tentang Indonesia [Saya masih membatasi uraian dan bukti-bukti saya untuk tidak terlalu ngelantur].Kratz masih sangat saya ragukan jika bisa dijadikan "sumber primer" tentang masalah Manikebu-Lekra. Kratz adalah pendatang baru di dunia dokumentasi sastra Indonesia. Sudahkah Kratz mewawancarai berbagai nara sumber yang langsung terlibat? Aguk masih punya peluang lebih besar dari pada Kratz untuk mendapatkan sumber-sumber yang tidak didapatkan Kratz. Mengapa tidak?


Dengan alasan-alasan dan pengenalan di atas, maka saya kira keterangan Aguk dalam jawabannya kepada saya terasa tidak kuat, dan dengan rasa kasihsayang serta harapan terbaik, saya ingin [kalau boleh] selanjutnya Aguk perlu lebih cermat dalam menggunakan istilah. Apalagi dalam karya tulis.


Komentar ini sekali lagi berangkat dari harapan dan kesayangan kepada Aguk yang penuh harapan. Maaf jika dirasakan terlalu berterus-terang, langsung dan kasar. Agar kita menjadi diri kita sebagai anak manusia yang punya harkat dan martabat. Saya bangga menjadi Indonesia dan bertarung mewujudkan kebanggaan ini.Saya pun bangga mempunyai kulit Dayak yang kuning tanda keragaman dan indahnya bumi!


Paris, Juli 2004.
----------------
JJ.KUSNI


ACUAN:
---- Original Message -----
From: Aguk Irawan
To: kmnu2000@yahoogroups.com
Sent: Friday, July 23, 2004 6:52 PM

Subject: Re: [kmnu2000] DARI NOTES BELAJAR SEORANG AWAM: SATU SEGI DEBAT BUDAYA ANTARA MAKIEBU DAN LEKRA

Catatan:Yang saya maksud Manifes Kebudayaan(1950-1965): adalah empat manifes kebudayaan yang lahir pada periode 1950-1965, yaitu: Surat Kepercayaan Gelanggang, Mukadimah Lekra 1950, Mukadimah Lekra 1959 dan Manifes Kebudayaan 1963. Pembuktian ini dilakukan dengan menganalisa dan membandingkan manifes-manifes kebudayaan itu. (studi kepustakaan ini yang dikategorikan sebagai sumber primer soal MANIKEBU-Pendahuluan Kratz).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home