Thursday, June 16, 2005

CERITA-CERITA KECIL UNTUK AGUK IRAWAN [2].

Dari Notes Belajar Seorang Awam:

Deklamasi atau pembacaan puisi pada masa remaja Yogyaku sudah merupakan acara umum ditampilkan pada berbagai kesempatan baik besar atau kecil. Lomba-lomba deklamasi sangat sering diadakan mulai dari tingkat sekolah sampai pada tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta [DIY].Guna menyalurkan dan memberi wadah bagi kegiatan-kegiatan ini maka Hersri Setiawan, penyair-penyair muda seperti L.S. Rento, Soegiojono, Timbul Darminto, Slamet Amtmorejo mendirikan sebuah organisasi yang dinamai Himpunan Peminat Deklamasi Yogyakarta [HPDY] dan Timbul Darminto terpilih sebagai ketua. Banyak di antara mereka ini hilang tak tentu rimbanya dalam Tragedi Nasional September 1965. Merenungkannya aku tertanya-tanya: Begitu besarkah memang risiko bertanya? Begitu besarkah akibat mempertahankan suatu jawaban, sampai Socrates dan Galileo harus mengorbankan nyawa mereka? Tapi bisakah anak manusia dibungkamkan dan dihentikan bertanya?

Walaupun namanya HPDY tapi kegiatan-kegiatan organisasi yang berkembang pesat ini tidak terbatas pada pembacaan sanjak tapi juga mencakup kegiatan-kegiatan lain seperti diskusi, drama radio, dan lain-lain.. sedangkan RRI Yogyakarta ketika dengan murahhati menyediakan kesempatan kepada HPDY untuk mengisi acara-acara siarannya.

Yang sangat membantu para anggota dalam meningkatkan taraf pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai masalah sastra-seni terutama adalah kegiatan-kegiatan diskusi yang diselenggarakan secara teratur saban akhir pekan. Ruang-ruang kelas Taman Siswa di jalan Taman Siswa selalu bisa digunakan oleh HPDY secara cuma-cuma, demikian juga Gedung IAIN. Dalam diskusi-diskusi begini para budayawan dan seniman dari angkatan lebih dahulu senantiasa hadir dan aktif mengajukan pandangan-pandangan mereka. Hal yang sangat membantu angkatan yang sedang tumbuh dan mencari. Melalui diskusi-diskusi yang kata pengantarnya dilakukan secara bergiliran oleh anggota-anggota dari angkatan yang sedang tumbuh, sama sekali tidak terasa bahwa mereka dari angkatan terdahulu melakukan pencekokan atau menggurui. Hasil-hasil diskusi ini kemudian ditulis sebagai laporan ke berbagai harian yang mempunyai ruangan kebudayaan, baik di Jakarta, Semarang atau pun di Yogyakarta sendiri, terutama ruangan Remaja Nasional pada Harian Nasional di jalan Tanjung. Melalui Remaja Nasional ini pulalah sering para sastrawan dari angkatan lebih dahulu, melakukan penilaian terhadap karya-karya para penulis yang baru mulai dan yang telah disiarkan melalui ruang-ruang remaja Harian Nasional dan Kedaulatan Rakyat. Kecuali itu mereka pun sering melemparkan berbagai persoalan yang kemudian dijadikan bahan-bahan diskusi di akhir pekan.

Tanpa kusadari oleh kegiatan-kegiatan sejak remaja SMA begini, akhirnya diskusi dan debat merupakan kebiasaan dan keperluan. Diskusi merupakan salah satu bentuk belajar tersendiri di luar kelas-kelas formal. Kegiatan-kegiatan diskusi dan berdebat begini akhirnya membiasakan kami dengan perbedaan dan belajar mengelola perbedaan pendapat itu, belajar menyatukan pendapat apa yang bisa disatukan. Sedangkan yang belum bisa disepakati, dicatat untuk dijadikan bahan renungan, bila perlu didiskusikan kembali pada kesempatan lain. Adanya perbedaan pandangan ini bermula dari lingkungan sekolah yang beragam. Ada yang dari sekolah negeri, ada yang dari sekolah-sekolah Islam, Kristen dan tentu saja Taman Siswa. Kami bertemu di ruang diskusi dengan keinginan sama yaitu belajar dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman. Seingatku yang hadir sama sekali tidak pernah mempermasalahkan asal suku dan agama. Kali tidak pernah sekalipun diskusi tentang agama. Jika kami memperdebatkan masalah "Sastra-seni untuk apa dan siapa", misalnya,kami mencoba sama-sama menjawabnya dan mencari dasar nalar untuk jawaban kami. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan serta memberi dasar jawaban, terasa benar peranan bantuan dari para sastrawan dan budayawan dari angkatan yang lebih dahulu.Tinggal kami dari angkatan yang sedang tumbuh mencerna acuan mereka dan bagaimana menjadikannya milik diri sendiri.

Untuk lebih memperkaya pengetahuan dan pemahaman, tidak jarang kami beramai-ramai ke kota lain terutama ke Solo, menjumpai kelompok-kelompok yang berada di sekitar penyair Mansur Samin, seorang yang sangat sabar, terbuka dan selalu mengulurkan tangan kepada angkatan yang sedang tumbuh. Melalui bahasan-bahasan puisi di siaran RRI Surakarta,Bang Mansur sangat banyak bantuan dan dorongannya terhadap angkatan yang sedang tumbuh. Sastra-seni kota Solo pada masa remajaku tidak bisa dipisahkan dengan nama Mansur Samin di samping nama-nama lain tentu saja. Mansur Samin merupakan salah seorang tempat mengadu dan berkonsultasi seperti halnya dengan Pater Dick dan lain-lain di Yogyakarta.

Periode remaja adalah periode pencarian dan membentuk diri. Pencarian dan pembentukan diri kemudian kulihat menuntut keterbukaan total di mana wasangka tersudut oleh pertanyaan yang menggelombang. Terbiasa berada di atas gelombang begini, akhirnya aku pun membiarkan diri sebagai laut di mana gelombang tak pernah sudah. Mengenang Yogya, aku mengenang bagaimana Yogya membuatku jadi laut. Kalau pun hari ini aku terdampar oleh gelombang itu, aku hanya bisa membiarkan mataku terbuka untuk mencoba selalu tajam memandang cakrawala. Jangan katakan, Guk, debur ombak di pantai adalah keluhku. Yang mau jadi laut tidak mengenal keluh. Debur itu pun tidak lain dari suara jiwa yang selalu bertanya, mengusik dan menggelitik kejanggalan. Jika menggunakan pola pikir orang Dayak Katingan, barangkali bisa dikatakan bahwa aku sudah dikutuk jadi laut [saloh jari tasik].

Paris, Juli 2004.
----------------
JJ. Kusni

0 Comments:

Post a Comment

<< Home