Thursday, June 16, 2005

CERITA-CERITA KECIL UNTUK AGUK IRAWAN [1]

Dari Notes Belajar Seorang Awam:

CERITA-CERITA KECIL UNTUK AGUK IRAWAN [1].

Menyebut namamu,Guk, aku selalu membayangkan seorang joki muda penuh elan sedang berada di atas seekor kuda putih perkasa memacunya menjelajah padang-padang luas tak bertepi melomba matahari. Aku juga teringat akan kata-kata Alphone de Lamartine, penyair Perancis dalam sanjak "Danau"nya tentang "fajar yang merobek malam" atau baris-baris Chairil Anwar dalam sanjaknya "Kepada Kawan":

"Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam"


Elan ini kukira perlu dimiliki oleh warga Republik Berdaulat Sastra-seni dan kau mencoba mengalirkannya jadi satu dengan darah dagingmu, mengentalkannya jadi penguat tulang-belulang pencarian, menggenggamnya sebagai "penyang pambelum kalunen" [sangu menarung kehidupan manusia], jika menggunakan ungkapan orang Dayak Kalimantan Tengah.

Kekalahan, kegagalan, kepahitan, kemanisan dan juga sementara hasil sempat diraih, tapi selalu kita pandang tak seberapa, kita lihat dan hadapi sebagaimana adanya dan bukan sebagai puncak tempat berhenti [karena si joki tidak mengenal puncak sejati], tidak lebih dari penambah ramuan penyang pambelum itu.

Aku memang sudah tua sekarang, Guk. Bongkok, ubanan dan ompong. Berjalanpun tertatih-tatih. Tapi aku menolak berhenti sebagai "joki", tidak mau turun dari pelana. Tentu dan tentu kau ingin bergegas maka pergilah lebih dahulu ke arah yang kau tuju. Sebelum kau menggerakkan tali kendali menepuk punggung kudamu memberi isyarat kepadanya guna berlari mengarungi padang, sebagai tanda sayang yang menyimpan harapan, ingin kututurkan kisah-kisah kecil yang barangkali bisa kau kenang kala sejenak kau istirah. Ketika itu aku bayangkan kau tersenyum sendiri, menyenyumi kenangan dan bayangan, menyadari betapa kecil pun kasihsayang dan setiakawan, ia benar menjadi sesuatu sangat berarti bagi kita, kendati dan justru disebabkan karena pada kenyataan, mereka pun sangat langka dibandingkan dengan kemunafikan seperti yang pernah diucapkan oleh seorang penulis Perancis bahwa "manusia cenderung menyukai kejahatan dan kegelapan, maka Tuhan dan malaikat mereka ciptakan".

Yogyakarta, lagi-lagi aku bercerita tentang Yogya, kota pengasuh masa remajaku. Kota yang membekas dan memberi tanda pada hidupku. Ibu kedua yang selalu memanggilku datang. Kau ingat tentu bahwa aku pernah cerita tentang "Republik Beringharjo" yang berwargakan para seniman segala cabang dan aliran pandangan, berwilayahkan seluas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta? Republik sastra-seni tanpa sultan tanpa presiden, tapi kuasa mengembangkan kemajemukan dan nilai-nilai republiken serta kemanusiaan.

Waktu itu usiaku jauh lebih muda dari kau sekarang. Baru lewat 20 tahun. Dengan latarbelakang sendiri, aku sudah meninggalkan Grup Teater Mahasiswa yang dipimpin oleh Rendra, guruku dalam artian harafiah, dan bergabung dengan Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat]. Pada usia 22 tahun aku yang sampai sekarang sering diberi topi "liberal" , dipilih dan dipercayai memimpin Lekra kota Yogyakarta. Waktu itu Yogyakarta terdiri dari 14 kemantren [kecamatan]. Kepercayaan ini barangkali karena para anggota tahu semacam "kenekatanku" yang pada usia 19 tahun berani diskusi di depan forum nasional menghadapi Menteri Pendidikan & Kebudyaan Sarino dan tokoh-tokoh seperti Anas Ma'aruf dari Badan Musyarawarah Kebudayaan Nasional [BMKN] serta sastrawan-budayawan bernama lainnya. Mengapa mesti takut, Guk? Berpendapat adalah hak dan kebetulan aku dilahirkan sebagai sebagai anak Dayak. Sebagai Dayak, lingkungan mendidikku sesuai dengan konsep "nyanak jata rengan tingang" [putera-pueri naga, anak enggang], kalau berani hidup harus berani menang dengan semangat Isen mulang! [Tidak pulang jika tak menang!]. Mengapa lalu aku mesti gemetar menghadapi menteri dan seorang Anas Ma'ruf? Kecuali itu, aku juga memang anak alam yang diasuh sungai, hutan dan gunung, tak biasa terkungkung. Sebagai anak sungai, kalau melihat ada gelombang, kami berlomba menerjuninya untuk ditimang, kalau ada badai kami biasa malas pulang ke rumah. Kedahsyatan topan dan gelombang memberikan keindahan dan mengagumkan kehidupan masa kanak kami. Topan yang mengaduk rimba dan gelombang yang menggelorakan sungai, rahasia apa gerangan yang mereka simpan? Kami ingin menantangnya, menguji siapa yang lebih hebat sesuai dengan semangat olahraga "pintik", tanding fisik perorangan dengan bergantian menendang kaki yang bertanding, yang sering kami lakukan. Belum lagi cerita-cerita kakek tentang naga dan tokoh-tokoh yang sanggup memangkas gunung dan mengeringkan tasik lumbah [laut luas]. Barangkali kemudian kau katakan bahwa aku sebagai anak alam tidak lain dari anak liar sulit diatur dan suka memberontak. Adalah hakmu berkata dan katakanlah. Tapi kukatakan, tidakkah dengan ini, adanya rupa-rupa budaya itu memperlihatkan kayanya Indonesia? Betapa indahnya kemajemukan, betapa Indonesia, konsep masih sedang menjadi?

Aku datang ke Yogya masih sebagai anak alam setelah meninggalkan Jakarta yang kurasakan bentuk lain dari rimba-belantara. Manusia dan hewan campur-baur. Terkadang kulihat setelah berkunjung ke Tapanuli, babi di Tapanuli, lebih beradab dari sementara orang yang disebut manusia di Jakarta. "Babi beradab" adalah istilah Pramoedya A.Toer untuk melukiskan keadaan babi dalam artian harafiah di daerah ini, ketika kami bersama-sama mengunjungi daerah ini pada tahun 1960an. Sekarang mungkin Pram sendiri sudah lupa pada penilaiannya ini!].

Kemudian muncullah suatu hari pada tahun 1963, saya membaca Manifes Kebudayaan [selanjutnya saya singkat dengan "Manifes"] yang oleh Pram disingkat secara ironis dengan Manikebu. Warga "Republik Beringharjo", juga teman-teman dari Solo sibuk berkonsultasi. Apa yang harus dilakukan, bagaimana bersikap terhadap Manifes, apalagi situasi politik nasional makin memanas dan sebagai warga "Republik Beringharjo" kami dituntut untuk bersikap. Bastari Asnin alm., salah seorang di antara warga "Republik", diam-diam ternyata sudah ikut menjadi penandatangan pertama Manifes. Dalam suatu pertemuan di tempat pelukis Arby Samah di belakang Museum Perjuangan untuk mendiskusikan masalah ini, ketika ditanyai kukatakan bahwa "aku sendiri tidak tahu latarbelakang Manifes ini.Barangkali dibaliknya ada suatu permainan politik terutama dari Seksi 1 Angkatan Darat, biasa disebut Skesi 1 [Dinas Intelijen Angkatan Darat]. Tapi aku tidak bisa membuktikannya. Karena itu, kukira yang terbaik, kita bebas bertindak sesuai dengan insting atau naluri masing-masing untuk menolak atau menerima. Kita tidak perlu takut melakukan kesalahan karena kesalahan bisa kita koreksi". Pendapat ini kuajukan karena para seniman dari angkatan lebih dahulu, demikian juga sebagai "konvensi" dari "Republik Beringharjo", kebebasan bersikap adalah suatu ketentuan yang menyatukan dan diterima bersama. Akhirnya diskusi memutuskan untuk membebaskan masing-masing yang hadir dalam bersikap sehingga kemudian sikap pun bermacam-macam. Ada yang menyokong, ada yang menolak. Sapto Hudoyo dan beberapa anggota Lekra lainnya termasuk menyokong Manifes. Ketika masalah menjadi makin jelas, mereka mengetawai diri mereka sendiri.

Setelah satu dasawarsa lebih, ketika bertemu di Paris alm.Sanento Yuliman yang pada waktu itu bergabung dengan Sanggar Bambu pimpinan Mas Soenarto Pr dan yang menyokong Manifes, berkata dengan penuh penyesalan dan berang: "Kalau kutahu militer ada di belakangnya, mana pula akan kusokong". Pernyataan yang kujawab dalam pertemuan kembali kami yang pertama di Café Mabillon, Paris: "Kau kira aku tahu. Aku hanya bertindak sesuai naluri atau insting dan sedikit pengalaman di bidang pers dengan orang-orang yang bekerjasama atau digunakan oleh tentara. Tapi coba kau lihat kembali.Apakah di antara kita, baik yang menyokong atau menentang, telah melakukan kesalahan? Kukira tidak dan ya. Ya karena salah nilai. Dan kesalahan begini adalah wajar karena kita tidak cukup bahan pertimbangan untuk menilai. Terbatasnya analisa dan pengetahuan politik kita.Setelah bahan sudah memadai, seperti halnya dengan Rendra, ia menolak hadir di Konfrensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia [waktu itu disingkat dengan KKPSI] di Jakarta. Yang menolak, barangkali bukan karena mereka benar dalam pengertian sadar, tapi karena naluri dan perbedaan pengalaman. Pernahkah kita saling mengutuk karena berbeda sikap?". Sanento memandangku lurus di mata. "Tidak bukan?". Sanento mengangguk tapi masih tidak bisa melenyapkan penyesalan dan kemarahannya karena merasa diperbidakkan. "Aku rasa saling menghormati dan memberikan kebebasan bersikap adalah salah satu kebesaran prinsip Republik Beringharjo. Kalau tidak mengapa kau mencariku dan aku menyambutmu hangat seperti dahulu?". Aku sendiri ketika di Yogyakarta mengucapkan pidato ulangtahun ke-13 Lekra memang menolak Manifes setelah membaca artikel Pram di Harian Bintang Timur. Ketika secara kebetulan di Malioboro,bertemu dengan Basuki Resobowo, Pak Bas [sebutan sehari-hari beliau] tidak memberikan jawaban yang jelas tentang soal Manifes. Padahal Pak Bas adalah salah seorang pimpinan pusat Lekra. Terkesan padaku bahwa Pak Bas sendiri masih bingung, sehingga tidak memberiku penjelasan yang mantap.

Keesokan harinya, Danarto mencariku di lapangan ketika aku mengikuti unjuk rasa anti agresi Amerika Serikat di Vietnam.Danarto menanyakan alasan penolakanku [Mudah-mudahan Darnarto masih ingat]. Kukatakan bahwa sikap demikian lebih berdasarkan naluri. Soal sesungguhnya masih gelap, ujarku kepada Danarto. "Tidakkah dengan pengutukan semalam, Mas mengutuk teman-teman sendir?" ujar Danarto.

"Sama sekali tidak karena yang kutolak adalah prinsip.Pandangan bukan teman", jawabku. Barangkali penyair dan budayawan A.Ajib Hamzah masih segar ingatannya akan hal ini. Kukira untuk mendapat pejelasan lebih jauh sebagai bahan bandingan dan memahami masalah sebagaimana adanya, barangkali kau bisa bertanya pada Ajib, pada Mas Goen [Goenawan Mohamad], pada Arief Budiman, Boen Oemariyati, Taufik Ismail,dan lain-lain... Sayang beberapa nara sumber langsung seperti Wiratmo Soekito, H.B. Jassin, Bastari Asnin, Sanento Yuliman , dan lain-lain sudah tak ada. Bertanya pada kedua pihak yang berdebat, kukira jauh lebih berguna sehingga bahan-bahan yang terkumpul bisa seimbang. Melihat masalah debat ini kukira masih mempunyai kegunaan untuk hari ini dan masa mendatang, karena dengan belajar sejarah sebagai mana adanya membantu kita menarik pelajaran dari pengalaman.

Apa lalu yang bisa kutarik dari pengalaman ini, Guk?

Yang terpenting bagiku, bahwa berbuat kesalahan termasuk sebagai hak seperti halnya juga adalah hak untuk memperbaiki kesalahan. Kemudian aku pun melihat bahwa prinsip "Republik Beringharjo" tentang kemampuan untuk hidup majemuk masih berlaku. Oleh prinsip inilah kami dari berbagai angkatan bisa tidak terpecah dan tetap saling menghargai. Sekarangpun aku tidak mencerca jika ada orang yang melihatku dengan curiga, sebelah mata, dan takut pada diri sendiri serta bayangan diri. Bagiku menjadi anggota Lekra tidaklah nista dan kejahatan pertama-tama bukan karena menjadi anggota, tapi terutama karena sesungguhnya Lekra membela dan menjunjung nilai-nilai suatu prinsip sastra-seni. walaupun karena menjadi anggota Lekra aku didera dan terbuang. Sampai sekarang aku belum mendapatkan dasar dasar rasional mengapa karena menjadi anggota Lekra, tidak sedikit nmereka kehilangan hak menjadi warga Republik Indonesia dan dipinggirkan? Kemanusiaan dan nilai Republiken model apakah gerangan ini jika demikian? aku teringat pemberitahuanmu bahwa ada yang masih enggan menerbitkan tulisan-tulisanku karena aku pernah jadi anggota Lekra. Mendengarnya aku melihat rusaknya pola pikir dan mentalitas kita sebagai manusia dan anak bangsa. Nampak juga padaku betapa kerusakan kita di bidang ini oleh pilihan politik Orde Baru. Nalar digantikan prasangka, mata pikirpun rabun sehingga tidak bisa lagi melihat apakah Indonesia dan keindonesiaan itu. Inilah yang kumaksudkan bahwa kita takut pada diri sendiri, takut pada bayangan sendiri, terganggu usaha kita menjadi manusia, menjadi anak bangsa dan negeri. Ketika memegang sedikit kekuasaan saja, kita makin rabun. Membaca sejarah dan belajar dari sejarah barangkali sesuatu yang mendesak bagi kita sekarang jika kita masih menginginkan Indonesia dan menjadi Indonesia ataukah Indonesia dan keindonesiaan sekarang hanyalah salah satu anak tangga untuk melikwidasinya? Dan tidakkah sesungguhnya sastra dan seni banyak menggeluti soal pola pikir dan mentalitas manusia?

Paris, Juli 2004.
----------------
JJ. Kusni

0 Comments:

Post a Comment

<< Home