Thursday, June 16, 2005

CERITA-CERITA KECIL UNTUK AGUK IRAWAN [3]

Notes Belajar Seorang Awam:


DAKI-DAKI & KOTORAN DI TUBUH SEJARAH

Istilah realisme sosialis pertama kali kukenal ketika aku baru meninggalkan SMA Santo Thomas[waktu itu masih terletak di belakang Kantor Pos Besar di kompleks Kanisius] dan memasuki tahun pertama kuliah di Universitas Gadjah Mada. Penyair HR Bandaharo alm. datang dan memberikan ceramah di Universitas Rakyat [UNRA] yang terletak di Jalan Panembahan Yogyakarta [Tentang apa itu UNRA dalam rangka membangun Indonesia dan keindonesiaan, di sini tidak aku masuki lebih lanjut, walaupun jika diperhatikan benar adanya UNRA kukira sangat menjangkau jauh. Kalau mau jujur, pada waktu itu tidak ada organisasi kebudayaan dan partai ,politik manapun kecuali PKI dan Lekra yang secara kongkret melakukan langkah-langkah nyata untuk meningkatkan taraf kebudayaan masyarakat lapisan bawah.UNRA adalah salah satu jalaran pelaksanaan ide tersebut. Aku harap, Guk, kau bisa menimba dan mempelajari masa lalu ini sebaik mungkin demi tunainya misi angkatan yang agaknya telah kau pilih untuk mengembangnya dengan gagah].

Waktu itu aku sudah mengikuti kegiatan-kegiatan Lekra, tapi sebatas karena tertarik pada masalah-masalah yang dibicarakan serta ingin tahu lebih lanjut lika-liku kehidupan sastra-seni di negeri kita dan dunia. Seiring oleh rasa ingin tahu yang menggelitik diri ini jugalah maka aku tak segan menyisihkan uang sakuku untuk berlangganan penerbitan Amerika, New World Writing, Soviet Litterature dan Chinese Litterature. Penerbitan-penerbitan baru di Indonesia pun selalu kuikuti dan untuk mendapatkannya aku memperoleh bantuan dari Tokobuku Gunung Agung, Pembangunan dan Pembaruan berbentuk keringan bahwa aku, "boleh bayar belakang". Jasa dan kebaikan hati pemilik tokobuku-tokobuku ini sampai sekarang dan kapanpun tidak akan pernah kulupakan berserta rasa hormat dan terimakasih. Sampai sekarang, akupun mengucapkan terimakasih dan hormat kepada mereka atas kepercayaan mereka terhadapku. Aku sendiri tidak tahu mengapa mereka mempercayaiku. Tapi dari kejadian pengalaman ini, aku melihat betapa penting artinya seseorang menjaga kredibilitas, menyatukan kata dan perbuatan.

Saban kali aku memasuki ruangan tokobuku, kalau ada buku-buku baru, mereka akan berkata: "Ada buku baru, Dik" dan mengantarku ke rak di mana buku-buku itu dipajangkan. Buku-buku yang kubeli dengan cara "membayar di belakang" semuanya kulunasi menggunakan honorarium tulisan yang kuperoleh berkat adanya buku-buku tersebut juga.

Setelah mendengar ceramah Bandaharo [Banda Harahap], pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab oleh terbatasnya waktu, kulayangkan melalui surat ke Jakarta kepada Banda. Banda menjawabku secara singkat dan tertulis mengatakan bahwa "yang terpenting kau terus berkarya dan berkarya, anak muda. Jangan hirau dan terpancang pada slogan, tapi jangan pula kau hentikan bertanya". Sayang,surat jawaban Banda ini hilang entah ke mana bersama hancurnya perpustakaan yang kubangun semenjak berada di Yogya ketika Yogya kutinggalkan. Di semua tempat yang pernah kusinggahi, di situ pula aku membangun perpustakaan pribadi dan karena aku memang "anak enggang yang hilang sarang", kemudian semuanya binasa ketika tempat-tempat itu kutinggalkan. Tidak jarang bahwa naskah-naskah tulisan dan catatan harian pun mesti kuhancurkan. Menyesalkah aku,Guk? Jangan ajukan pertanyaan demikian kepadaku. Yang bisa kukatakan kepadamu bahwa penyesalan tidak pernah membantuku memperoleh semua yang sudah kuhancurkan, dan yang sudah hilang. Aku hanya memandang masa silam itu dengan lirikan sejenak dan bibir terkatup merasakan garangnya perlakuan hidup kepadaku sejak masa kanak. Kalau kau bersikeras bertanya maka jawabanku hanya menunjukkan cakrawala di hadapan yang menunggu ke mana aku akan menuju tanpa tahu apa yang menunggu.

Pada tahun ketiga di Gadjah Mada, akhirnya aku memutuskan bergabung dengan Lekra, dan meninggalkan Rendra yang sejak SMA mengajar dan mendorongku menulis. Aku sendiri sampai sekarang, aku tidak tahu apakah Rendra benar bahwa aku bisa menulis. Yang kutahu seperti yang sering dia ucapkan bahwa "siapapun perlu mengungkapkan diri". Rendra tidak pernah berhenti mendorong dan mengajarku. Juga ketika kami bertemu di Paris.

Sebagai anak asuh "Rendra yang urakan" aku pun tak pernah berhenti bertanya dan kesenangan bertanya ini membuatku sering disebut sebagai "suka main sendiri", "liberal" dan tuduhan-tuduhan senada [yang sulit kupahami artinya], juga ketika aku bergabung dengan Lekra. Bertanya dan menjawabnya kurasakan sebagai hakku yang tak boleh disentuh. Tak boleh diganggugugat. Dengan latar psikhologis dan pikiran begini maka ketika membaca dan mendengar Lekra disebut sebagai berslogankan "realisme sosialis", diriku merasa tersentuh atau diganggu. Mengapa? Dari mana orang-orang bisa berkata demikian? Apa sumber mereka maka sampai bisa berkata demikian?

Aku yang bertahan di Lekra melalui pertarungan, tidak pernah mendengar adanya pengunaan slogan demikian dalam berkarya sebagai slogan resmi Lekra. Aku tidak ingin membela Lekra dan ide-idenya secara membuta. Yang kumau, katakan sesuatu sebagaimana adanya. Jangan mengatakan apa yang dipikirkan sendiri sebagai pikiran dan pandangan Lekra. Jangan mengatakan yang tidak dikatakan oleh Lekra sebagai yang dikatakan oleh Lekra, mentang-mentang si pengucap berada di atas angin. Cara begini adalah cara anti kebudayaan dan bukan perangai seniman sejati. Lebih menggelikan dan mengganggu apabila dalam menyerang Lekra yang dibubarkan oleh Orde Baru, para pengucap menggunakan berbagai istilah yang tidak pernah digunakan oleh Lekra.

Yang kumaksudkan dengan Lekra tidak lain dari Lekra sebagai organisasi dan bukan tulisan atau ucapan para anggotanya yang tentu saja berhak mengajukan pendapat. Yang disebut pendapat Lekra adalah pendapat Lekra sebagai organisasi dan bukan pendapat perorangan anggota-anggotanya.

Barangkali dengan keterangan ini, kau akan bertanya bahwa kalau demikian, di dalam Lekra sendiri sesungguhnya terjadi perdebatan-perdebatan sengit? Jika memang demikian pertanyaanmu, maka kau peka memahami arti kalimat dan kata-kata orang.[Soal ini tidak kurinci di sini!]

Yang benar-benar mengenal Lekra, misalnya Sanento Yuliman alm terutama sejak ia menulis tesis doktornya tentang Soedjojono, tidak akan heran bahwa dalam Lekra itu tidak ada monolitisme. Yang sempat mengikuti diskusi-diskusi sastra-seni berbagai sanggar Lekra di Yogyakarta akan segera paham bahwa perdebatan ide di kalangan Lekra tidak pernah reda. Memandang Lekra sebagai monolitisme hanya menunjukkan bahwa yang berkata itu tidak tahu apa-apa tentang Lekra.Aku bisa mengajukan banyak contoh tentang tidak ada monolitisme [yang secara filsafat merupakan suatu kekeliruan], tapi tidak menjadi tema catatan ini. Adalah benar bahwa para anggota Lekra itu satu dalam hal bahwa sastra-seni itu semestinya diabdikan kepada rakyat. Orientasi inilah yang terutama menyatukan para anggota dan berhasil membangkitkan suatu gerakan kebudayaan rakyat di tanahair yang sampai ,sampai sekarang, sejauh pengetahuanku, belum tertandingi. Coba kau tunjukkan kepadaku, organisasi kebudayaan mana sekarang, yang bisa menandingi kegiatan Lekra dalam membangkitkan gerakan kebudayaan rakyat di Indonesia seluas dan seintensif seperti yang telah dilakukan Lekra. Jika aku salah, tunjukkan, bukti kesalahanku. Jika benar, selayaknya kau bertanya: "Mengapa bisa demikian?". Pernahkah kau tanyakan pada dirimu akan hal ini? Yang kusaksikan sekarang, lebih banyak orang sibuk membangun nama diri sendiri dengan berbagai cara,kadang tanpa menggubris tatakrama minimal. Orang-orang mabuk ingin diakui sebagai sastrawan dan seniman setelah menulis sanjak dan artikel yang kadarnya masih bisa diperdebatkan. Diri sendiri terkesan menduduki tempat lebih tinggi dari segala nilai manusiawi. Orang-orang pun tidak segan memberi hadiah sastra pada diri sendiri, gejala yang kulihat sebagai petujuk sudah demikian merosotnya mentalitas anak negeri dan bangsa hari ini.

Sedangkan pengertian rakyat itu bersifat dialektis, berkembang dari waktu ke waktu, sesuai dengan apa yang menjadi kontradiksi pokok pada waktu itu. Karena itu aku berani mengatakan bahwa pendapat Pramoedya A.Toer [lihat artikel Pram di Majalah Bintang Merah] atau Njoto tentang masalah realisme sosialis, misalnya, tidaklah berarti bahwa pendapat Pram merupakan pendapat Lekra sekalipun Pram dan Njoto adalah anggota-anggota penting dari organisasi kebudayaan ini. Yang disebut pendapat Lekra adalah pendapat dan sikap secara organisasi. Betapapun pentingnya posisi mereka dalam Lekra, betapapun besarnya nama mereka, Njoto dan Pram hanyalah dua nama dari ribuan kalau bukan jutaan anggota Lekra di seluruh Indonesia. Njoto dan Pram barangkali bisa mempengaruhi pendapat umum anggota, tapi pendapat mereka tidak lain dari pada pendapat pribadi. Bukan pendapat Lekra sebagai sebuah organisasi. Apalagi dari pengalaman kuketahui bahwa "ilmu kuping" dan "budakisme" tidak sedikit menjangkiti anggota Lekra, suatu ironi bagi sebuah organisasi kebudayaan rakyat yang memimpikan kebudayaan baru dan demokratis.


Realisme sosialis dipandang oleh Lekra sebagai suatu pandangan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan perkembangan kongkret masyarakat kita. Kalau Zdanov mengajukan ide ini untuk Uni Soviet, itu adalah hak Zdanov tapi tidak otomatis apa yang dikatakan Zdanov sekaligus merupakan pandangan Lekra yang adalah organisasi kebudayaan Indonesia. Bisa saja pendapat Zdanov diperhatikan, tapi tidak diterapkan secara membuta. Pendapat Zdanov hanya dijadikan sebagai acuan dan diambil sarinya. Yang secara resmi digunakan oleh Lekra seperti yang tercermin dalam "metode penciptaan 1:5:1" bukanlah realisme sosialis tapi pemaduan realisme revolusioner dan romantisme revolusioner. Ketika membicarakan Lekra, banyak pengamat sastra-seni, kurang cermat memperhatikan hal ini sehingga sekalipun mereka berangkat dari kemauan baik, apalagi kalau memang bertolak dari niat negatif dan apriorisme. Kendati karya mereka disertai dengan sekian banyak catatan kaki [apalah arti catatan kaki jika berangkat dari apriori?!], tetap saja ada kesenjangan besar dengan obyektivitas sehingga mereka terjerembab ke dalam subyektivisme. Dari karya-karya mereka tentu saja kita bisa memungut hal-hal positif, karena hal yang negatif pun bersegi banyak dan bisa kita balik menjadi sesuatu yang positif. Dari segi ini, aku kira kemerdekaan bertautan erat dengan obyektivitas relatif. Untuk menggapai obyektivitas, sebaiknya kita melempar jauh-jauh wasangka. Bahkan dari gunjing, caci-maki dan sejenisnya, aku sendiri mencoba memungut pelajaran dan hakekat dari cacimaki dan gunjingan serta menolak apriorisme. Memang Lekra memancangkan panji realisme sosialis barangkali salah satu bentuk dari subyektivisme, wasangka dan apriorisme yang jauh dari obyektivititas dan merabunkan pandang serta mengotorkan kejujuran. Yang disebut ilmu , terutama ilmu sosial sering terjangkit kotoran dan daki-daki subyektivisme demikian. Sejarah sastra negeri kita tidak luput dari daki-daki dan kotoran begini.

Paris, Juli 2004.
----------------
JJ. Kusni

DeleteReplyForwardSpamMove...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home