Friday, June 17, 2005

CERITA-CERITA KECIL UNTUK AGUK IRAWAN [6].

Dari Notes Belajar Seorang Awam:


"Kita Harus Sampai Yogya!"

Pada suatu hari, adikku Ong Oen Kiong, salah seorang penanggungjawab dari Ansambel Tari & Nyanyi Binneka memperlihatkan sepucuk surat dari Baperki Cabang Muntilan, yang meminta Ansambel kami untuk memeriahkan rapat besar mereka. Nama Ansambel ini memang sudah mulai menanjak di Yogya dan sekitarnya sejak ia mengadakan pementasan tiga malam berturut-turut di Gedung Shin Shen She, Pacinan Yogyakarta. Pertunjukkan tiga malam itu menghidangkan berbagai macam acara, berbeda dari pertunjukan-pertunjukan biasa yang dipentaskan oleh organisasi-organisasi kesenian etnik Tionghoa selama ini. Yang tampil pun bukan hanya para seniman dari etnik Tionghoa tapi ada Buce dan Martin, dari Minahasa, ada Mangusong dan Hutajulu dari Tapanuli, Surono sang pelukis dan pemain akordeon. Selain lagu-lagu revolusioner seperti "Gerilya Kalimantan Utara", "Resopim","Nasakom Bersatu" karya-karya Subronto K.Atmojo, karya-karya C. Simanjuntak, juga ditampilkan lagu-lagu rakyat dari berbagai pulau mulai ujung utara Sumatera sampai ke Papua [Irian Barat]. Secara finansil, pertunjukan ini menghasilkan beberapa juta rupiah, hasil yang berada di luar dugaan.Laisomnena, lagu nelayan Dayak diangkat dalam bentuk balet bersamaan dengan Tanduk Majeng dari Madura.

Hasil pertunjukan ini kemudian sebagian kami sumbangkan untuk membangun Taman Kanak-kanak Bhinneka,sebagian untuk kepentingan Ansambel. Secara psikhologis pertunjukan telah meningkatkan kegairahan dan kesatuan anggota grup, sedangkan pihak orangtua dan keluarga para anggota makin percaya kepada kami. Kepercayaan ini perlu kugarisbawahi karena mempunyai arti praktis bagi kelancaran kegiatan berkesenian kami.Apalagi pihak orangtua juga melihat bahwa sekalipun kegiatan putera-puteri mereka meningkat, tapi dari segi pelajaran di sekolah, mereka tidak menunjukkan kemunduran sedikitpun.

Kepercayaan dan dukungan kuat juga datang dari pihak pengurus sekolah. Melalui kegiatan-kegiatan kongkret begini, para anggota Ansambel menunjukkan kepada seluruh masyarakat di mana saja kami datang, bahwa etnik Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa dan negeri. "Kamipun Indonesia, Indonesia pun adalah negeri kami. Indonesia bukan monopoli". Pikiran ini sangat diresapi oleh seluruh anggota Ansambel. "Bahwa mata kami sipit, justru kesipitan mata ini memperlihatkan indahnya keragaman bangsa dan negeri". Rasialisme di kalangan etnik Tionghoa dan non Tionghoa kami lawan melalui kegiatan-kegiatan patriotik dan kemanusiaan. Perasaan bangga menjadi Indonesia dan rasa keindonesiaan kami tumbuh dengan sendirinya secara alami. Pikiran-pikiran, sikap dan perasaan begini kemudian menjalar ke kalangan angkatan tua yang bangga melihat kegiatan-kegiatan putera-puteri mereka. Inilah isi kepercayaan yang kami dapatkan. Agama? Mana pula kami pernah membicarakan soal agama dan perbedaan agama di kalangan kami. Sekalipun kami tak pernah membicarakan soal agama dan perbedaan agama.Dari pengalaman kecil di lingkungan kecil ini, aku yakin benar bahwa Indonesia memang suatu konsepsi besar indah yang mungkin terujud. Konsep Indonesia dan keindonesiaan bukanlah konsep khayali tanpa dasar."Gimana, Kak?" tanya Oen Kiong yang dalam keluarga biasa disebut Wen Kung. "Dipenuhi nggak undangan ini?"."Mengapa mesti ditolak?", jawabku."Kalau begitu kita harus mendatangi keluarga-keluarga minta izin", ujar adikku itu."Kapan?" tanyaku."Sekarang!". Berdua kami segera pergi ke daerah Pacinan untuk minta izin kepada orangtua-orangtua. Lebih tepatnya: Memberi tahu. Karena biasanya tidak seorang pun dari orangtua anggota yang keberatan terutama melepaskan anak gadis mereka ikut bepergian.Pada jam yang sudah disepakati, bus Baperki Muntilan datang menjemput kami. Dengan membawa perlengkapan-perlengkapan pertunjukan, kami menaiki bus secara teratur. Sepanjang perjalanan tentu saja, nyanyi demi nyanyi serta sendagurau tak putus-putus menggema. Perjalanan kami manfaatkan sekaligus sebagai kesempatan berlatih. Wen Kung dengan akordeonnya memimpin latihan di bus.

Gelora jiwa muda menghangati udara yang mendingin menyusup ke ruangan bus. Elan jiwa remaja menghalau kelelahan seharian di sekolah. Di bus ini aku seperti melihat wajah Indonesia masa datang, Guk.Indonesia kita!Indonesia dengan elan seekor naga bangkit dari dasar lubuk sambil menghempas-hempaskan ekor perkasanya ke segala tantangan. Anak-anak muda ini kulihat sebagai naga-naga muda yang sedang bebas dan sehat bertumbuhan. Naga-naga harapan tanahair dan bangsa. Di Muntilan kami disambut dengan hangat oleh pengurus Baperki.Wen Kung turun pertama, dan mengawasi para anggota rombongan turun satu per satu dengan tertib dan penuh disiplin. Timbul rasa bangga di hatiku melihat para anggota rombongan kami yang berjumlah 30 orang itu bersikap tidak ugal-ugalan, tahu menempatkan diri sesuai keadaan walaupun usia mereka tidak melampaui 20 tahun. Mereka sangat tertib dan nampak saling mendahulukan satu dan yang lain. Sikap sopan, tertib, penuh disiplin yang memberikan kesan baik kepada para pengurus Baperki setempat yang bergiliran kami salami. Aku tahu mereka banyak belajar dari rombongan Shin Sheisha Kuza yang mereka pun turut menyambutnya. Shin Sheisha Kuza yang para anggotanya juga muda-muda nampak sangat mempengaruhi mereka.

Pertunjukan kami buka dengan paduan suara "Rayuan Pulau Kelapa" yang melatarbelakangi solis utama, soprano kami : May-Swan dipimpin oleh akordeon Wen Kung. Kami sengaja membuka saban pertunjukan dengan lagu karya Ismail Marzuki ini untuk menyampaikan pesan utama kami. Pertunjukan bagi kami adalah alat penyampai pesan berbarengan dengan menghibur para penonton. Setelah itu acara tradisional kami lanjutkan dengan pembacaan puisi penyair S.W. Kuntjahjo, alm.

"Aku Anak Tionghoa" oleh seorang anggota kami berusia 12 tahun. Pembacaan sanjak ini berlangsung hampir 20 menit karena sering terpenggal oleh tepuktangan gemuruh para penonon yang merasa tergelitik oleh sanjak Kuntjahjo tersebut. Di akhir pembacaan sanjak, paduan suara dan soprano menyanyikan kembali secara lirih "Rayuan Pulau Kelapa" disertai oleh turunnya layar pelan-pelan disusul oleh acara solis tenor Mas Harri dari ASMI [Akademi Seni Musik Indonesia] di depan layar yang turun itu. Ketua Baperki mengantar rombongangan kami ke bus yang tadi kami gunakan. Sopir menyatakan pujiannya kepada seluruh rombongan sambil melarikan bus menuju Yogya. Malam makin larut dan dingin. Setelah beberapa kilometer dari Muntilan, tiba-tiba sopir menghentikan kendaraan dan turun. Kami saling berpandangan, saling bertanya apa yang sedang terjadi. Dari pintu bus, sopir mengumumkan bahwa dua bannya kempes dan ia tidak mempunyai ban cadangan."Maaf", ujar sopir. "Saya tidak bisa mengantarkan adik-adik sampai Yogya".

Wen Kung segera berdiri dan berkata:"Tenang. Jangan panik"."Sekarang kita turun semua dan tinggalkan dulu barang-barang di bus", tambahku. Para anggota turun dengan tertib. Kami duduk melingkar di jalan aspal di bawah udara yang kian mendingin. Rapat menetapkan apa yang harus dilakukan. "Malam ini juga kita harus sampai Yogya " ujar Wen Kung tenang pasti."Bagaimana cara mencapai Yogya, terserah pada akal masing-masing. Tapi yang utama adalah mencegat truk-truk yang lewat untuk ditumpangi. Rombongan kita bagi atas grup-grup 3-4 orang dengan penangungjawab grup masing-masing. Dalam mencegat truk atau kendaraan lain dan ketika di perjalanan harap jaga disiplin dan saling bantu. Besok jam 10:00 pagi ketua grup melapor kepada saya", ujar Wen Kung lagi. "Malam ini juga kita harus sampai Yogya, karena besok akan ada ulangan di sekolah.

Ada yang keberatan dengan usul jalan keluar ini?". Seperti koor, semuanya menyatakan setuju dan grup-grup serta penanggungjawabnya ditentukan. Sopir bus kami mendengar keputusan kami dan sekali lagi meminta maaf. Pada waktu itu kami tidak mengenal telpon genggam, juga tidak ada tersedia kabin telpon untuk menghubungi pengurus Baperki di Muntilan atau memberitahu orangtua-orangtua anggota di Yogya. Grup demi grup berangkat dengan jalan kaki menuju Yogya dan mencari jalan mencapai Yogya.Aku dan Wen Kung berangkat paling akhir dengan membawa beban yang paling berat. Aku melihat Adikku yang menjawabku dengan tertawa. Setelah berjalan beberapa kilometer, langit timur sudah memperlihatkan cahaya merah tanda fajar menghakhiri subuh. Sebuah truk meluncur laju dari arah Muntilan dan aku berdiri di tengah jalan melambaikan tangan.Atas pengertian sopirnya, dengan truk inilah aku dan adikku meluncur menuju Yogya. Setelah mendengar cerita kami, ibu dan Tacik [kakak perempuan] tanpa banyak bicara segera menyiapkan makanan dan minuman hangat bagi kami berdua. Kasihsayang kedua perempuan ini tak pernah pupus dari ingatanku dan selalu memberiku kehangatan serta semangat.

Dalam Tragedi September 1965, kudengar mereka terpaksa meninggalkan rumah kami di Jalan Ki Haji Akhmad Dahlan. Ketika berada di Yogya beberapa tahun lalu, aku mencoba mencari mereka tapi tak pernah berhasil. Melalui Hong Kong, ayah pernah mengirimku sarung dan mesin ketik. Kudengar dari Wen Kung bahwa ayah bahkan pernah mencariku di Beijing tapi ketika itu aku sudah meninggalkan Tiongkok. Tragedi September 1965 telah menghancurkan banyak harapan dan keluarga. Meremukkan sekian kasihsayang. Menjadikan Indonesia sebagai hamparan kuburan dan tumpukan puing. Dengan kadar dukaku sendiri, dari hamparan kuburan, tumpukan puing dan gundukan abu itu, aku berdiri tanpa kucuran airmata. Hanya di kaca kulihat parit-parit dalam duka menandai dahi. Parit-parit duka lebih dalam lagi kusaksikan pada jutaan dan jutaan anak bangsa dan negeri ini. Kalau Yogya adalah lambang harapan dan tujuan berbangsa dan bernegeri, masihkah sekarang kita bisa berkata:"Kita Harus Sampai Yogya!"? Sambil beristirahat, satu demi satu penanggungjawab grup berdatangan ke rumah melaporkan bahwa semua anggota grup sudah sampai ke rumah masing-masing dengan selamat tanpa masalah apapun. Semua grup sampai ke Yogya.

Kemudian kusaksikan pengalaman pahit ini hanya menambah semangat para anggota Ansambel dan kepercayaan para orangtua.Kalau Yogya adalah lambang harapan dan tujuan berbangsa dan bernegeri, masihkah sekarang kita bisa berkata:"Kita Harus Sampai Yogya!"? Angkatanmulah Guk, yang sekarang layak menjawabnya. Aku hanyalah senja waktu yang masih mencoba mengibas awan memberi ruang pada cahaya: harapan dan mimpiku.

Paris, Juli 2004.----------------

JJ. Kusni

0 Comments:

Post a Comment

<< Home