Thursday, June 16, 2005

CERITA-CERITA KECIL UNTUK AGUK IRAWAN [4].

Dari Notes Belajar Seorang Awam:


Petani Klaten dan Zapata

Tahun itu tahun 1963,Guk. Lekra Jawa Tengah [Jateng] yang berpusat di Semarang, memanggilku agar segera datang ke ibukota Jateng itu. Tapi panggilan untuk segera datang ini tidak disertai sepeserpun ongkos transpor. Entah mengapa, aku tetap juga datang, meninggalkan tentamen, dengan menumpang truk ayam dari stasiun bus yang waktu itu terletak di belakang Beringharjo, tidak jauh dari daerah tokobuku yang sekarang dikenal dengan nama Shopping. Sopir truk berbaik hati mengantarku sampai ke tempat tujuan, sambil tertawa berkata:

"Jangan heran kalau nanti adik dibilang bau tahi ayam, ya", ujarnya sambil memasukkan perseneleng untuk meneruskan perjalanan. Terimakasihku dijawabnya dengan lambaian tangan hangat. Untuk melakukan perjalanan antar kota pada waktu itu aku memang banyak dibantu oleh para sopir truk yang berpenampilan kasar, tapi polos dan gampang paham. Di dalam truk-truk begini aku banyak berkenalan dengan "bakul-bakul" sayur, "bakul" buah-buahan dan macam-macam ibu dari desa.

Pertemuan di Semarang itu memutuskan bahwa aku dipecayai untuk mengikuti Gerakan Aksi Sepihak untuk melaksanakan perobahan agraria dan bagi hasil sesuai dengan UU Perobahan Agraria [UUPA] dan UU Peraturan Bagi Hasil [UUPBH] di Klaten. Gerakan yang kemudian kuikuti dari awal hingga akhir dengan metode yang oleh Lekra disebut dengan "metode tiga sama" dan kemudian berdasarkan pengalaman pelaksanaannya dikembangkan menjadi "empat sama":sama kerja, sama tidur, sama makan dan sama diskusi. Dalam melaksanakan empat sama ini aku dilarang sama sekali mencatat di depan kaum tani. Misi utamaku dalam mengikuti langsung Gerakan Aksi Sepihak adalah menulis drama tentang kaum tani kemudian mementaskan drama yang kutulis itu dengan pemain dari kaum tani itu sendiri.Ketika mendapat kepercayaan ini, aku sendiri diliputi oleh keraguan. Bagaimana seorang Dayak bisa melaksanakan kepercayaan ini di tengah-tengah orang desa Jawa? Apakah mungkin para petani yang ikut aksi bermain dalam drama berbahasa Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan begini kusimpan saja dalam hati sebagaimana aku menyimpan dalam hati tantangan keluargaku dahulu ketika berangkat dari kampung untuk mencari lanjutan sekolah. Barangkali aku memang dipengaruhi oleh tradisi orang Dayak yang pantang menampik tantangan. Kalau menerimanya, maka ia harus melaksanakannya sampai tuntas. Pada masa kanakku, di kalangan orang Dayak kata dan perbuatan tidak boleh berjarak. Dan kalau merenungkannya maka dalam kesatuan inilah kekuatan mantera didapat. Jadi bukan mantera model yang ditafsirkan oleh para kritikus sastra negeri kita mengenai mantera. Dari segi ini barangkali mantera bisa dipandang pertama-tama mengandung suatu patokan etika dan bukan pengutamaan bentuk. Oleh karena itu, sering aku melihat "modernisasi" yang sering memerosotkan manusia terkadang jauh lebih "primitif" dalam artian harafiah dari pada kelompok masyarakat yang dinamakan "primitif" itu sendiri. Penguasaan tekhnologi, mencapai jenjang pendidikan tinggi, apakah merupakan jaminan bahwa seseorang yang menganggap diri "cendekiawan", dan "modern" menjadi lebih mempunyai keluhuran [luhur tidaknya seseorang kutakar dari usaha memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat]?

Seseorang yang bersekolah, tanda ia telah menyelesaikan pendidikan jenjang tertentu memperoleh selembar kertas sebagai tanda dan tanda ini disebut ijazah. Dengan ijazah ini, pemegangnya membuka peluang untuk mendapat pekerjaan sesuai dengan bidang yang dia pelajari -- sekalipun memang sering terjadi penyimpangan-penyimpangan. Misalnya seorang yang belajar ilmu kimia, kemudian bekerja sebagai penerbit, seorang yang belajar sastra kemudian untuk hidupnya ia bekerja sebagai penjual traktor dan mesin-mesin. Tapi apapun juga jenis ijazah yang telah dikantongi, ijazah membuka peluang tertentu bagi pemegangnya.Ini adalah konvensi masyarakat. Pada masa Orde Baru kita pun menyaksikan bagaimana ijazah penjara berguna untuk mendapatkan jabatan-jabatan tertentu, setelah mana cita-cita semula yang membuatnya dikirim ke penjara jadi busa. Barangkali menyimpulkan pengalaman dan keadaan begini maka orang Tiongkok berkata bahwa "daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh".

Dalam masyarakat yang polos seperti masyarakat petani misalnya, orang-orang pun sering silau oleh kharisma ijazah. Ada perkiraan dan harapan bahwa pemegang ijazah telah menjelma jadi manusia lebih unggul dan berkemampuan lebih dalam segala bidang, termasuk keteguhan pandangan, sikap dan pendirian. Jarang orang kampung menduga bahwa justru ijazah ini membuka pintu kemungkinan baru bagi pengkhianatan dan kegoyahan. Mendorong inidividualisme. Lebih-lebih pada saat gawat di mana pemegang ijazah berhadapan dengan ancaman ajal. Kegoyahan ini aku saksikan juga pada saat mengikuti langsung Gerakan Aksi Sepihak di pedesaan Kalteng. Di dalam gerakan aksi sepihak ini aku lihat benar betapa kondisi sosial seseorang menentukan keteguhan pandangan, sikap dan pendirian. Paling tidak kusaksikan di dalam Gerakan adanya dua sikap yang sangat berbeda. Di satu pihak, sikap para petani miskin dan buruh tani yang bisa disebut sebagai proletar desa, di pihak lain sikap para elite desa, termasuk guru desa yang tentu saja dihormati.

Mungkin gampang dimengerti bahwa dalam Gerakan Aksi Sepihak itu, polisi dan petani hadap-hadapan. Tidak sedikit pimpinan Gerakan yang ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Kesempatan berada dipenjara, mereka jadikan sebagai kesempatan untuk belajar [dalam arti luas] dengan tenang. Tapi sekalipun pimpinan Gerakan banyak yang ditangkap dan dipenjarakan, Gerakan Aksi Sepihak tetap saja berlangsung dengan marak ibarat kedahsyatan arus banjir yang kuasa mematahkan dan memporakparandakan segala halangan di hadapannya. Kedahsyatan arus banjir ini kurasakah sendiri ketika aku mencoba membuka pintu air agar tidak menggenangi kandang babi dari jenis Swedia yang kupelihara waktu itu.

Dari pergaulan dengan kaum tani di pedesaan Klaten,kemudian kuketahui bahwa kekuatan kaum tani yang bangkit secara sadar akan melebihi kekuatan arus banjir. Bayangkan, Guk, ketika para pemimpin Gerakan Aksi Sepihak akan diadili di Pengadilan Negeri Klaten, ribuan dan ribuan kaum tani turun ke kota dari berbagai penjuru. Saban 500 meter, berjaga dengan bren.Artinya jarak pos pengawasan satu dan yang lain disambungkan oleh jarak tembak eektif senjata yang digunakan. Tapi para petani sama sekali tidak tergertak. Ketika para pimpinan Gerakan diturunkan oleh polisi dari truk yang mengangkut mereka, para petani menyerbu tak terbendung, ke arah para pimpinan Gerakan sekedar untuk mengalungkan bunga. Setelah itu mereka dengan tenang menunggu di luar ruangan sidang, mendengarkan suara pembelaan Abdul Madjid SH [yang kalau tidak salah masih keluarga dari R.A.Kartini], melalui pengeras suara. Aku sendiri hadir pada waktu itu di tengah-tengah kaum tani yang mengikitui sidang dari luar. Bayanganku,dari pembelaan Abdul Madjid almarhum [akhirnya meninggal di Negeri Belanda], aku akan mendengarkan pembelaan tipe Dimitrov ketika diadili oleh pengadilan Hitler, Julius Fucik ketika berada di penjara atau tokoh-tokoh kiri Kakak Chiang, Liu Hulan dan lain-lainnya yang pernah kubaca, yang menggunakan mimbar pengadilan untuk menelenjangi "musuh". Kurang percaya pada pendengaranku pada waktu mendengar pembelaan tersebut, aku mencoba mencari teks pembelaan. Teks dan pendengaranku juga berkesimpulan sama [maaf!]: Abdul Madjid yang kukenal cukup baik, agaknya kurang meresapi nyala api di hati kaum tani yang sedang bangkit. Abdul Madjid tidak mampu mengimbangi petani-petani yang ditampilkan sebagai saksi atau yang diadili secara terpisah dari para pemimpin Gerakan dan mencoba membela diri mereka dengan gaya petani mereka yang polos. Tentu saja, aku tidak meragukan keberpihakan Abdul Madjid kepada orang-orang terpinggir dan dipinggirkan. Yang aku persoalkan adalah andaian. Andaikan Abdul Madjid turun dari menara gadingnya ke padang-padang Gerakan barangkali warna pembelaan legalnya akan bercorak lain. Dari sini kulihat bahwa kemauan baik saja kukira tidak cukup bagi seorang yang berpendidikan untuk bisa menghayati denyut jantung mayoritas penduduk yang dipihakinya. Penghayatan adalah penyatuan diri, pengabungan diri dengan badai topan pergulatan mereka. Tanpa penyatuan dan penggabungan, sama halnya dengan melihat pergulatan mayoritas penduduk dari menara gading atau dari atas pelana.

Jika melihat keadaan kita sekarang, hari ini, seberapa banyak, para terdidik kita yang sungguh-sungguh menyatukan dan menggabungkan diri dengan pergulatan mayoritas penduduk negeri? Yang nyata tak terbantahkan lebih banyak kemauan baik, dan kemauan baik yang disuarakan dari atas menara gading serta pelana kuda. Ketika keadaan berbahaya, kuda pun dipacu kencang ke penjuru-penjuru aman. Ini watak umum para pemegang ijazah yang jauh dari badai topan pergulatan mayoritas penduduk. Mayoritas yang berkehidupan papa dijadikan landasan belaka.Sedangkan mereka sendiri tidak ke atas, tidak ke bawah, tidak di tengah tapi menjurus dan berkurung di diri sendiri. Dengan selubung kepapaan mereka meningkatkan diri sendiri dan kemudian setelah berada makin di atas dengan gelar ini itu sebagai hiasan, jarak mereka dari mayoritas pun makin jauh. Mereka kukira memang tetap diperlukan tapi bukan sandaran perobahan hakiki lagi. Kecuali kalau mereka dengan tegas menyatukan diri secara nyata dengan gerakan pembebasan mayoritas. Tinggal di menara gading atau di punggung pelana dan menyatukan diri langsung dengan gerakan pembebasan mayoritas oleh Gerakan 4 Mei di Tiongkok misalnya ditunjukkan memang merupakan dua jalan yang membedakan dan memisahkan dua tipe orang-orang terdidik. Para pemegang ijazah agaknya tidak lain dari jenis manusia yang berada di jalan simpang. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa menggantungkan harapan baik pada tipe menara gading dengan segala variasinya.

Berbeda dengan para petani yang tak berpunya dan telah sadar akan arti gerakan adalah sikap seorang guru desa yang kemudian jadi buah bibir seluruh kabupaten Klaten pada waktu itu. Sang guru desa, yang dipilih sebagai penanggungjawab utama Barisan Tani Indonesia, karena ijazahnya, ketika digrebek polisi lari dan berobah lalu memusuhi Gerakan. Dari contoh ini nampak bahwa gerakan tidak perlu silau oleh ijazah. Benar bahwa orang-orang terdidik diperlukan oleh gerakan tapi kalau ingin gerakan itu berlanjut, gerakan tidak mungkin dipimpin oleh para orang terdidik yang tidak teruji sikap dan pendiriannya memalui badai topan pergulatan panjang. Ternyata kemudian Gerakan Aksi Sepihak melahirkan pemimpin-pemimpinnya sendiri melalui gerakan dan dari kalangan yang dipandang sebelah mata sebelumnya. Contoh tipikal pada waktu itu adalah Mbok Kerti. Dari pengalaman ini aku kira pemimpin itu tidak dipilih tapi dilahirkan.Dilahirkan oleh pergelutan merebut kemanusiaan seperti dengan munculnya Mbok Kerti. Tidakkah menertawakan jika seorang mantan ketua partai membangga-banggakan gelar yang baru ia peroleh dan betapa orang-orang partai politik membeli gelar atau kembali menempuh ujian guna mendapatkan gelar akademi . Padahal gelar bukan tanda kemampuan memimpin dan tanda kepemimpinan.

Melihat kembali gerakan kaum tani Klaten pada tahun 1963-1964, sekarang, aku seperti melihat nasib Zapata dan gerakannya. Ia dikhianati oleh pemegang ijazah dan partai politik. Akankah para petani dan etnik-etnik terpinggir negeri kita melahirkan Komandan Marcos dari Chiapas, Meksiko?


Paris, Juli 2004.
----------------
JJ. Kusni

0 Comments:

Post a Comment

<< Home