CERITA-CERITA KECIL UNTUK AGUK IRAWAN [5].
Dari Notes Belajar Seorang Awam:
Ansambel Tari & Nyanyi Bhinneka Yogya.
Tentu kau tahu Guk, bahwa Lekra adalah sebuah lembaga kebudayaan yang mencakup banyak lembaga kejuruan, seperti Lembaga Musik, Lembaga Drama, Lembaga Filem, Lembaga Seni Rupa, dan Lembaga Sastra. Andaikan Tragedi Nasional September 1965 tidak meletus, bisa dipastikan lembaga-lembaga ini akan terus berkembang sehingga tanggap dengan kegiatan berkesenian yang kian marak di seluruh tanahair dari kota hingga ke daerah pedesaan yang luas. Di Jawa Tengah misalnya seni pedalangan dan seni ketoprak berkembang sangat luar biasa sampai-sampai muncul grup "Ketoprak Mahasiswa".
Lembaga-lembaga kejuruan inilah yang menangani kegiatan berkesenian secara praktis, mulai dari pengaturan jadwal latihan sampai kepada pementasan, penyimpulan pengalaman, jadwal belajar untuk meningkatkan diri dan ketrampilan tekhnis, pameran, dan lain-lain... Dalam melakukan kegiatan praktis, rencana pengembangan kegiatan tahunan, dan lain-lain.., Lembaga -Lembaga kejuruan ini bersifat independen. Tapi sebagai Lembaga-lembaga yang berhimpun di bawah Lekra, tentu saja kegiatan-kegiatan berkesenian mereka, bergerak di jalur umum yang ditetapkan bersama seperti orientasi bahwa "sastra-seni itu diciptakan dan dilakukan untuk mengabdi kepada rakyat". Kami tidak menghabiskan waktu dengan mendiskusikan arah berkesenian ini, tapi lebih menekankan kepada kegiatan.Kepada kreasi.
Di Yogya, Lekra pada waktu angkatanku, pernah menetapkan bahwa "kita harus bisa berkesenian di segala rupa panggung, mulai dari ladang-ladang tebu, dari barak-barak tentara & polisi, dari perkebunan dan pabrik-pabrik sampai ke ruangan istana".
Permintaan berbagai kalangan akan pertunjukkan kesenian pada tahun-tahun 1960an memang kian meningkat bahkan datang dari kampung-kampung dan pedesaan. Permintaan-permintaan begini seperti tak ada hentinya. Untuk memenuhi permintaan penduduk ini, kami merapikan organisasi lembaga-lembaga kejuruan, meningkatkan pembentukan grup-grup tari nyanyi [waktu itu kami sebut Ansambel Tari-Nyanyi] dan drama. Dari sebutannya, kau bisa melihat bahwa ansambel itu mencakup berbagai bidang kesenian: sastra, musik, drama, tari, sandra-tari, bahkan seni-melawak. Dengan demikian, ansambel bisa menyuguhkan pertunjukan yang relatif beraneka ragam.
Semangat mengembangkan mengembangkan grup-grup Ansambel Tari-Nyanyi di daerah Yogyakarta, nampak kian marak sejak kedatangan Ansambel Tari-Nyanyi Shin Seisha Kuza dan Rombongan Kabuki Zen Zin Zha dari Jepang. Dari rombongan Shin Sheisha Kuza, kami, selain belajar elan mereka, kami juga banyak belajar secara tekhnis, terutama dalam soal dekorasi dan mengatur acara. Mereka singgah dua kali di Yogya. Pertama dalam perjalanan keliling Jawa hingga Surabaya dan kemudian dalam perjalanan kembali ke Jakarta. Mereka menyukai Yogya dan dalam perjalanan ke Jakarta mereka menginap beberapa hari di Kaliurang, kesempatan yang kami manfaatkan benar untuk belajar. Yang sampai sekarang melekat dalam ingatanku adalah elan, mobilitas dan bagaimana secara sederhana mengangkat ke dalam kesenian masalah-masalah aktual kehidupan. Kedatangan Shin Sheisha Kuza menyulut bara kegiatan dan setelah mereka berangkat nyala itu kian berkobar. Kami merasa mendapatkan contoh dalam berkesenian. Tentang hal ini aku ingin menuturkan cerita-cerita kecil dari praktek-praktek kecil remaja kami pada waktu itu. Kukatakan remaja, karena usia tertua anggota grup Ansambel Tari & Nyanyi Bhinneka [selanjutnya kusingkat Bhinneka] yang ingin kukisahkan di bawah ini tidak lebih dari 20 tahun, tahun pertama atau kedua universitas.Tapi umumnya, rata-rata masih berada di SMA.
Bhinneka hanyalah salah satu saja dari 6 grup Ansambel Tari Nyanyi yang berada di bahwa naungan Lembaga Musik Indonesia Lekra Yogya pada waktu itu. Masing-masing-masing grup beranggotakan paling sedikit 40-50 orang. Bhinneka beranggota aktif 50 orang dan umumnya terdiri dari putra-putri Indonesia dari etnik Tionghoa. Latihan-latihan dilakukan secara teratur di berbagai gedung pertunjukan yang bisa kami gunakan secara cuma-cuma di daerah Pacinan pada saat-saat lepas belajar , terutama di akhir pekan. Salah satu kekuatan grup ini adalah rasa kesatuan dan disiplin. Adanya rasa kesatuan sebagai teman membuat para anggota saling memperhatikan masalah-masalah masing-masing dan jika masalah timbul para anggota terutama pimpinan grup mencoba memecahkannya. Dalam rangka memelihara rasa kesatuan ini dan saling bantu, para penanggungjawab grup sering berkunjung dari rumah ke rumah, berbicara dengan orangtua para anggota. Kunjungan begini menimbulkan kepercayaan penuh dari pihak orangtua kepada grup sehingga kalau kami melakukan pertunjukan ke tempat-tempat jauh seperti Kediri, Klaten,Solo, Lampung dan daerah pedesaaan Jawa Tengah, untuk waktu cukup lama, pihak orangtua samasekali tidak mengandung rasa cemas sedikitpun melepaskan anak gadis mereka. Rasa kesatuan yang kuat menjelma menjadi rasa persaudaraan. Kukira masalah ini sangat membantu kehidupan suatu grup kesenian. Apa yang dicapai dirasakan sebagai hasil bersama, dan saban pementasan dilakukan dengan keinginan memberikan yang terbaik dari diri maasing-masing. Tidak kurasakan adanya rasa iri dan dengki sesama anggota, dan kami coba kikis karena perasaan demikian hanya merusak kebersamaan. Apalagi sama sekali bukan suatu kreasi seni.
Sedangkan adanya disiplin, memungkinkan grup mencapai taraf tidak jelek dibandingkan dengan grup-grup lain, kalau tidak bisa dikatakan terbaik. Adanya disiplin ini pula memungkinkan grup bisa menggunakan waktu secara efektif. Dalam bidang musik, tenaga ahli dan profesional dari Akademi Seni Musik Indonesia [ASMI] Yogyakarta, seperti Harri [penyanyi tenor] dan Supriyo [pengajar pada pada ASMI, dengan sukarela menangani paduan suara. Sedangkan Martin, si putera Kawanua, juga dari ASMI mengajar kami menggunakan kulintang, alat musik khas Minahasa.Pada tahun 1965, sebenarnya Bhinneka dan ASMI bermaksud mementaskan opera "Tanah Ketaon" yang ditulis oleh Magusig O Bungai. Pementasannya direncanakan menunggu kepulanganku kembali ke Yogya, tapi malang, aku tak juga datang-datang berbarengan dengan naik pentasnya opera berdarah lain yaitu Tragedi September 1965. Dari jauh sejak itu aku mengikuti perkembangan grup: siapa yang sudah hilang, siapa yang masih hidup. Di mana dan bagaimana mereka. Sedangkan dari anggota-anggota grup yang hidup dalam buruan juga dengan 1001 cara mencoba mencariku dan memberi kabar di tanjung dan teluk perantauan yang jauh.
Sebagai ilustrasi ingin kututurkan dengan segala kenangan, bahwa May Kwie, salah seorang anggota Bhinneka yang telah dipinang oleh Ong, orangtua angkatku untuk menjadi istriku, menulis minta izin kawin dengan anggota lain. Surat May Kwie dikirimkan dengan jalan berlika-liku untuk akhirnya bisa sampai ke tanganku. "Aku mencoba menunggu, tapi seperti kau, akupun tak tahu kapan kau akan pulang", tulisnya di samping mengisahkan pengalaman demi pengalaman selama tahun-tahun berdarah. Tentu saja, permintaan ini kusambut baik karena itulah jalan paling nalar. Kisah ini hanyalah kisah kecil saja karena ia sangat pribadi, Guk. Tapi dengan menuturkan kisah kecil ini, aku ingin menunjukkan betapa "opera berdarah": Tragedi September 1965, melimpahkan duka dan derita tak tertakar kepada banyak orang yang sebenarnya tak tahu apa-apa. Menuturkan hal kecil ini, sama sekali bukan maksudku untuk memamerkan penderitaan seperti yang pernah dituduhkan oleh seorang komentator dalam dunia maya. Dengan menuturkannya, aku ingin agar kita tidak melupakan sejarah. Pahit atau manis, kukira layak kita hadapi sebagaimana adanya kenyataan, sebagaimana orang Dayak bilang, kemudian pahit dan manis dalam sejarah itu kita jadikan "penyang pambelum" [sangu kehidupan] demi kehidupan manusiawi.
Pelibatan tenaga-tenaga ahli dan profesional seperti Supriyo, Harri, Martin dan lain-lain ke dalam kegiatan berkesenian Bhinneka dilakukan bertolak dari keinginan melaksanakan tiga pemaduan yaitu, memadukan kearifan & kreativitas seniman, dengan kemampuan profesional & ahli dan pandangan pimpinan, agar bisa mencapai taraf kesenian yang bermutu. Bhinneka tidak ingin berkesenian secara asal-asalan. Pelibatan tenaga ahli dan profesional begini juga kami lakukan di bidang seni tari. Untuk keperluan ini kami meminta bantuan Sutikno seorang penari balet dan koreograf muda. Di bidang drama, kami libatkan tenaga-tenaga ahli dari Akademi Seni Drama & Film Indonesia [ASDRAFI] Yogyakarta, seperti Arifin. Kebijakan ini pun kami lakukan ketika membangun "Lembah Merapi", sebuah ansambel tari-nyanyi di kabupaten Klaten yang terdiri dari anak-anak petani.
Melalui pentas lawatan ke berbagai daerah, terutama di sekitar Yogyakarta, kami membangun dan memperkuat jaringan berkesenian di lapisan bawah, terutama di kalangan kaum tani. Makin banyak makin baik sehingga dengan demikian para seniman bisa menanggapi keperluan masyarakat akan kesenian. Selanjutnya Lembah Merapi dan Bhinneka dalam banyak kegiatan memang melakukan kerjasama erat. Lembah Merapi dilahirkan dari kancah Gerakan Aksi Sepihak di kabupaten Klaten. Tentang hal ini kelak akan kuceritakan secara khusus. Tapi tidakkah nampak bahwa dari lahirnya Lembah Merapi yang dibantu oleh tenaga-tenaga ahli dari ASMI, ASDRAFI dan grup Bhinneka bahwa dalam kegiatan berkeseniannya Lekra meneruskan tradisi lama sastra-seni bangsa kita tentang satunya sastra-seni dengan kehidupan? Dan secara umum barangkali bisa dikatakan bahwa sesungguhnya sastra-seni itu adalah anak zamannya.
Paris, Juli 2004.
----------------
JJ. Kusni
0 Comments:
Post a Comment
<< Home