Friday, June 17, 2005

CERITA-CERITA KECIL UNTUK AGUK IRAWAN [7].

Dari Notes Belajar Seorang Awam:


"Festival Drama"

Ketika bekerja di Indonesia dan bolak-balik berkunjung ke berbagai daerah di tanahair, keluhan yang paling sering kudengar adalah ketiadaan dana. Ketiadaan danalah yang menghambat pemberdayaan dan pembangunan masyarakat. Buntut dari ketiadaan dana adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan.Selanjutnya keterbelakangan, kebodohan membuat kita miskin dan kemiskinan membuat menyebabkan ketiadaan dana. Jalan pikiran begini,pada hakekatnya menempatkan kita, para penganutnya berada dalam suatu lingkaran setan, sehingga kita dengan demikian akan selamanya berada dalam keadaan bodoh, miskin dan terbelakang.

Tentu saja aku tidak meremehkan arti dana, Guk. Tapi bagiku di atas segalanya dan pertama-tama bukanlah dana tetapi manusia yang mengendali dan mengelola dana. Dana sebanyak apapun jika dikelola dan dikendalikan oleh manusia yang tidak becus dan mempanglimakan dana, maka dana sebanyak apapun akan ludes dalam beberapa waktu. Sedangkan jika kita mempunyai manusia yang sadar akan keadaan diri, artinya tahu di mana mereka berada, sadar untuk mencari jalan keluar, artinya menjawab pertanyaan ke mana dan bagaimana mencapai arah ke mana itu, maka dengan adanya manusia demikian, masalah dana dicarikan pemecahannya dan mereka pun akan berusaha sebisa mungkin mengelola dana itu. Adanya kesadaran begini, membuat manusia pemilik kesadaran demikian akan membangkitkan mereka menjadi aktor pemberdayaan diri sendiri dan melakukan pembangunan yang akan bergulir terus membesar seperti bola es. Kunci pemberdayaan adalah tumbuhnya keadaran dan kemampuan di dalam masyarakat untuk menjadi aktor pemberdayaan diri mereka sendiri yang berporos pada proses penyadaran. Penyadaran dan pemecahan masalah-masalah mendesak akan saling bertautan. Pembangunan yang tidak berdasarkan pada pemberdayaan kukira akan gagal. [Masalah pemberdayaan dan pembangunan di sini tidak kulanjutkan karena akan terlalu menyimpang dari soal festival teater atau festival drama, cerita kecil yang di sini ingin kututurkan].

Lembaga drama Lekra Yogya seperti halnya dengan Lembaga Musik, melakukan latihan-latihan periodik dengan menggunakan Sanggar-sanggar Pelukis Rakyat yang terletak di Sentulrejo dan Sanggar Indonesia Muda [SIM] di dhadapan Alun-alun Lor [Utara] atau di rumah teman-teman yang mempunyai pendapa atau ruangan luas. Agar yang latihan merasa lebih terdorong, maka dirancangkan sekaligus waktu pementasan. Sebab tanpa rencana pementasan, yang latihan akan menjadi kurang bersemangat. Segi lain dari penyelenggaraan latihan-latihan, tentu saja agar Lembaga selalu siap memenuhi permintaan dari berbagai kalangan baik di kota ataupun di pedesaan. Bagaimana bisa memenuhi permintaan ini, jika Lembaga tidak siap? Padahal permintaan dari berbagai kalangan tidak pernah berhenti datang ke Lembaga.

Saban rencana pementasan ditetapkan, masalah yang selalu memusingkan memang masalah dana. Yuran dan sumbangan anggota yang umumnya terdiri dari mahasiswa dan pelajar, tentu tidak memadai. Paling-paling cukup untuk mencetak undangan diskusi dan keperluan administratif . Lalu bagaimana membayar sewa gedung, kursi, pembuatan spanduk, poster, ongkos latihan , dan lain-lain? Pada waktu itu kami sama sekali tidak mengenal yang disebut sekarang dengan usulan proyek dan donator baik dalam maupun luarnegeri untuk membantu menggerakkan kegiatan. Semua kami bekerja dengan sukarela tanpa iumbalan sepeserpun. Tapi rencana kami tetapkan bukan untuk menjadi rencana mati dan berhenti di atas kertas. Tidak pernah ada rencana pementasan yang kami batalkan.

Setelah berkali-kali melakukan pementasan semalam dengan satu cerita, maka pada suatu ketika kami menetapkan untuk menyelenggarakan festival drama selama seminggu sekalipun di kas Lembaga sama sekali tidak ada dana tersedia untuk kegiatan sepanjang itu. Tapi rencana kami tetapkan juga dan kami bertekad menyelenggarakan Festival tersebut. Grup-grup ditetapkan berdasarkan lakon yang akan diangkat ke pentas. Batas waktu latihan minimal ditetapkan dan bisa diundur jika ternyata hasil latihan dinilai kurang memenuhi harapan. Ketika grup-grup lakon berlatih dengan giat, penanggungjawab Lembaga Drama mulai berunding mencari jalan pembeyaan yang tentu saja tidak kecil dan jadinya tidak sesederhana keinginan. Beaya untuk mencetak karcis festival pun kami tidak punya.

Dalam sebuah rapat khusus membicarakan masalah beaya festival, seorang teman mengusulkan agar para penanggungjawab dengan kerelaan menggadaikan barang-barang mereka yang kira-kira bisa memenuhi keperluan mendesak dan bersifat kunci yaitu karcis. Pengusul kemudian melanjutkan keterangannya bahwa dengan uang penggadaian itu, kita cetak karcis dan dengan hasil penjualan harga karcis itu kita tebus kembali barang-barang gadaian. Sisanya kita gunakan untuk membeayai festival drama. Peserta rapat semua tertawa dengan usul ini karena merasa kasihan pada diri sendiri. Tapi usul inilah yang kami terima sebagai keputusan untuk dilaksanakan. Seorang teman segera melepaskan cincin emas dari jarinya, meletakkannya di meja. Aku sendiri menyediakan sepeda yang kugunakan sehari-hari untuk digadaikan. Dua sepeda dan sebuah cincin emas kami bawa ke rumah gadai.

Aku lupa sudah berapa rupiah yang kami peroleh dari menggadaikan barang-barang tersebut, tapi yang jelas, jumlahnya jauh dari mencukupi keperluan mencetak karcis.

Ketika meninggalkan rumah gadai, di sepanjang jalan aku tak habis pikir, bagaimana cincin emas bisa dinilai tinggi oleh rumah gadai. Keheranan yang naif barangkali. Tapi jujur kukatakan sebelum pergi ke rumah gadai, di mataku emas tidak terlalu berharga. Karena di kampungku di Sungai Katingan, kalau ibu memerlukan emas untuk perhiasan kakak dan adik-adik perempuanku, ibu tinggal turun sungai, mendulang beberapa jam, ibupun sudah memperoleh emas yang diperlukan. Emas bagi kami di kampung, terutama di mata bocahku, pada waktu itu sama sekali bukan barang mewah. Rumah gadai Yogya lah yang membuatku kemudian sadar akan nilai emas dalam masyarakat. Sekalipun demikian, emas masih saja belum menarik perhatianku dibandingkan dengan buku. Ketika kembali dari perjalanan panjang puluhan tahun, kusaksikan justru emas sudah menghancurkan alam kampung kelahiranku.

Masalah karcis sudah terpecahkan. Setelah mengetahuinya, grup-grup lakon berlatih makin tekun dan kian bersemangat.

Persoalan berikutnya yang kami hadapi adalah bagaimana mengobah karcis menjadi uang sehingga kami bisa menyewa gedung, kursi, membuat spanduk, poster dan membeayai keperluan-keperluan lain pementasan. Kami kembali melakukan rapat dan memutuskan untuk melakukan "operasi dari pintu ke pintu". Kota Yogya, kami bagi dalam sektor-sektor: Utara, Selatan, Barat dan Timur. Petugas-petugas dan penanggungjawab sektor pun ditetapkan. Tugas tim-tim sektor adalah mengetok pintu demi pintu di sektor masing-masing dan meminta sumbangan sukarela dengan imbalan karcis festival. Jadwal operasi ditetapkan. Sebulan! Saban minggu dilakukan penyimpulan bersama, sedangkan tim sektor bebas menetapkan rancangan penyimpulan.

Melalui "operasi dari pintu ke pintu" ini, karcis festival teredar habis mendahului jadwal, dengan hasil melebihi anggaran minimal, termasuk untuk menebus barang gadaian: dua sepeda dan cincin emas.Aku merasa lega karena dengan tertebusnya kembali sepedaku, aku tidak lagi ke mana-mana dengan berjalan kaki.

Teman-teman pelukis dari berbagai sanggar, segera membuat spanduk dan poster lebih besar dari papan tulis sekolah dan dipancangkan di simpang empat di depan kantor pos utama. Tak lama kemudian poster dari Teater Muslim asuhan dramawan Diponegoro dan Arifin C. Noer serta poster Teater Rendra muncul berdampingan dengan poster Lembaga Drama. Barang tentu, waktu pementasan kami tidak bersamaan sehingga masing-masing bisa saling menyaksikan pertunjukan. Kukira ini adalah suatu perlombaan sehat dan menguntungkan karena, terutama kami, bisa belajar keunggulan teman-teman dari kelompok-kelompok teater lain. Perlombaan sehat ini kian menyemarakkan kehidupan berkesenian di kota. Hasil pertunjukan berbagai kelompok ini kemudian dibawa ke dalam diskusi-diskusi penyimpulan di sanggar-sanggar. Menyimpulkan pengalaman dan pekerjaan merupakan keniscayaan bagi Lembaga-lembaga Lekra. Kegiatan demi kegiatan berkesenian serta penyimpulannya merupakan proses belajar bagi semua anggota.

Pengalaman mengumpulkan dana untuk suatu kegiatan ini pun kemudian ketika aku bekerja di Palangka Raya sampai tahun 2001, kuterapkan dalam mengirimkan tiga tenaga guna belajar tentang masalah Kredit Simpan Pinjam [Credit Union]. Tawaran bantuan beaya dari luar kutolak, karena kurasakan bantuan demikian tidak mendidik. Ternyata kami pun berhasil mengirimkan tiga teman kami untuk belajar selama berbulan-bulan di tempat yang cukup jauh.

Apa yang dikatakan oleh praktek di atas? Kukira yang paling pokok, bahwa pertama-tama bukanlah dana tetapi adanya manusia yang sadar. Kesimpulan ini juga dikuatkan oleh pengalaman kami di Paris ketika membangun Koperasi Restoran Indonesia yang sudah berusia lebih dari 21 tahun dan sampai hari ini masih lancar berfungsi di tengah-tengah ibukota Perancis. Dalam membangun koperasi Restoran Indonesia, kami sama sekali tidak punya pengalaman berusaha, kami juga tidak punya modal. Yang kami punya pertama-tama adalah ide dan setelah matang, ide inilah yang kami ujudkan dan dicarikan jalan mewujudkannya. Kami tidak mulai dari tersedianya dana. Tapi dari manusia. Manusia yang tersedia inilah kemudian yang mencari dana dan mengelola dana.


Paris, Juli 2004.
----------------
JJ. Kusni

DeleteReplyForwardSpamMove...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home