Sunday, June 19, 2005

RAK BUKU TEMPO

Tue, 03 May 2005 12:45:27 -0700

http://www.korantempo.com/news/2005/1/16/Buku/14.html

Judul buku : Liku Luka Kau Kaku
(200 sajak untuk 200 Penyair)
Penulis : Aguk Irawan MN.
Penerbit : Pustaka Sastra Yogyakarta (Ombak), 2004
Jumlah halaman: xxix + 280 : 13 x 20 cm


MIMPI INDONESIA UNTUK 200 PENYAIR
Peresensi A. Purwantara

Adalah Aguk Irawan MN., penyair yang lahir dari bumi Lamongan (1
April 1979), tanah yang sekarang dikenal setelah bom Bali
mengejutkan dunia. Beberapa tahun yang lalu dia meninggalkan tanah
kelahirannya menuju negeri Fir'aun untuk studi di Universitas Al-
Azhar Kairo, dari tahun 2002, hingga sekarang sedang menyelesaikan
kuliah tingkat akhir di jurusan Ushuludin Departemen Aqidah
Filsafat. Sebelumnya dia nyantri di ponpes Darul Ulum, Langitan,
Tuban sambil sekolah di MAN Babat, Lamongan (1997)

Mulai belajar sastra kepada gurunya, Bp. Harmaji, penyair lamongan
dan guru Bahasa Indonesia. Kepenyairannya semakin kuat ketika di
Kairo mendirikan sanggar seni Kinanah bersama teman-teman
Indonesianya. Setelah itu dia seperti memproduksi kata-kata dengan
tiada henti. Dan sebagain besar karyanya itu bisa dinikmati
dipelbagai koran dan majalah baik daerah maupun Ibu Kota. Setelah
beberapa buku dia lahirkan, kali ini dia menelorkan lagi sebuah
kejutan dari kata-kata yang terus diproduksinya.

Liku Luka Kau kaku, sebuah kumpulan puisi. Kalau menyuplik komentar
Sigit Susanto di sampul belakang buku itu; Puisi-puisi Aguk tak jauh
dari tema pertemanan, kerohanian, kehidupan dan alam. Metafor-
metafor yang dihasilkan banyak berangkat dari perenungan alam yang
dalam. Kemudian dia coba menikung pada kehidupan manusia lewat ironi-
ironi kekinian.

Mungkin tema-tema di atas sungguh sangat biasa diangkat oleh penyair
yang pernah ada. Sebuah tema yang tidak terlalu aneh. Karena karya
seni itu tiruan dari alam, begitu kira-kira kata seorang filsuf.
Tidak aneh! Lalu apa yang bisa dilihat dari sebuah buku puisi yang
tak aneh?

Tungu dulu, Liku Luka Kau kaku, mungkin beda. Buku ini mungkin agak
unik jika dibandingkan dengan buku-buku dengan tema yang tidak aneh
itu tadi. Menurut A. Mustofa bisri; Antologi puisi penyair muda Aguk
Irawan ini benar-benar merupakan sebuah karya yang unik. Mungkin
inilah pertama kali dan satu-satunya antologi puisi yang seluruh
sajaknya dipersembahkan dan "merespon" kepada hampir semua penyair
Indonesia yang dikenalnya. Maka antologi inipun menjadi semacam
leksikon puitis atau kumpulan "puisi leksikon".

Ya, buku ini berisi 200 sajak untuk 200 penyair. Kenapa 200 penyair,
menurut Aguk; Sebab sejarah sastra adalah sejarah yang purba dengan
rentang waktu yang sangat panjang dan pelik, maka hanya 200 saja,
rasanya memang betul tak cukup!

Bagaimana Aguk mengumpulkan 200 nama penyair Indonesia itu? Katanya,
200 nama penyair Indonesia ini dihimpun dengan kategori periode
(mudah-mudahan tidak salah) di mulai dari zaman Balai Pustaka,
hingga sekarang (2004). Dia juga menyandarkan pada hasil penelitian
di Paris yang diberi nama The Paris Review – Interview dan di bawah
judul "Some Work of Indonesian Poets (2002) yang menghimpun 197 nama-
nama penyair Indonesia tetapi; bukan berarti yang ada dalam
penelitian itu pasti ,begitu kanyanya.

...yang jelas 200 para penyair yang saya jadikan teman dialog dalam
kata-kata latah di buku ini, mereka adalah guru dan tauladan saya,
sejak pertama saya berkawan dengan mereka, atau sejak pertama kali
membaca tulisannya, sejak itu pula saya putuskan niat yang tulus
untuk berguru....


Begitulah, sebagai mantan santri Aguk memang tak bisa melepas
tradisinya untuk bersilaturahmi. Untuk itulah dia menciptakan
jembatan yang menghubungkan jarak keberadaannya dengan para penyair
itu yang berupa puisi tegur sapa. Puisi yang mengajak berdialog,
bercakap-cakap. Dengan bahasa yang kadang-kadang bergelora, lelah,
putus asa juga cinta dan kehangatan.

Apa hanya itu alasan dia menulis 200 sajak untuk 200 penyair yang
dia kenal, baik langsung maupun hanya kenal karyanya itu? Dia
mengungkapkan, "Saya tak bisa membayangkan tanpa mereka bagaimana
bisa Indonesia menjalani liku sejarah sebagai bangsa yang penuh
kedukaan ini berlangsung?"

Pada saat peluncuran buku di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada Jumat
21 Oktober 2004, seorang penyair Akhmad sekhu bertanya
kepadanya, "Kenapa kau berani menulis 200 puisi untuk 200 penyair,
apa kau kenal mereka? Apa yang mengilhami kau menulis itu?"
Jawabnya, "Saya bukan penyair. Bahkan saya benci penyair. Karena
penyair di mata saya adalah orang yang suka sesenaknya, tidak
peduli. Tapi kenapa saya tiba-tiba ingin menyapa mereka? Ketika saya
melihat Indonesia sedang berduka, terluka berdarah-darah, merekalah
yang setia mencatat, merekam dan menyodorkan obat dan memberi
hiburan yang sedang duka. Sejak itu saya mencintai mereka. Dan ingin
berdialog dengan mereka." Begitu kurang lebih dialog yang terjadi
antara Aguk dengan Akhmad Sekhu, seorang penyair yang sempat pula
disapa dalam antologi puisi Liku Luka Kau kaku ini, dengan judul
Kosong –untuk Akhmad Sekhu di halaman 30.

Dari dialog itu terungkap bahwa Aguk Irawan, anak kelahiran Lamongan
yang sekarang di Mesir, menyimpan semangat yang pedih melihat
bangsanya dicerca duka dan luka yang tak pernah henti. Lihat saja
kata-kata Liku Luka Kau Kaku, empat kata yang dengan tepat
menggambarkan perjalanan sejarah yang penuh liku dan luka-luka.
Sedemikian itu liku dan luka yang bahkan hampir-hampir membuat
semangat kebangkitan kaku beku.

Kita lihat puisi di halaman pertama buku Liku Luka Kau
Kaku; ....../dari cuaca yang paling teduh/Indonesia memang hanya
mimpi/ya, mimpi yang entah milik siapa?/dengan segala muslihat/yang
tajam dan yang tumpul//dan jika Indonesia adalah/rembulan maka
hampir/sudah tiada malam lagi/dan cahaya, lalu mimpi untuk siapa
(Mimpi untuk Abdul Hadi W.M, Kairo 2004, hal 1-2)

Aguk seakan melihat Indonesia dengan sejarah yang suram itu bagaikan
mimpi. Bahkan dia hampir tidak melihat perbedaan mimpi buruk ataukah
kenyataan yang sedang dialami bangsanya. Seakan ketenangan,
keamanan dan kesejahteraan adalah mimpi indah rakyat Indonesia yang
dihantam krisis, bom, separatisme dan macam-macam teror. Tenang? Itu
hanya mimpi indah yang entah milik siapa.

Ekspresi kebangsaan Aguk dapat dilihat dalam beberapa sajaknya,
seperti Kehormatan yang diperuntukkan A. Ajib Hamzah dari
Jogjakarta. Aguk memandang; bumi kita yang hangus. Terasa harapan
yang pupus. Dan untuk Ajip Rosidi dia menulis; tanah kita/tempat
menaruh segala/harapan dan cinta/bunga-bunga mekar/lanmgit yang
bening/tanpa ketakutan. Sebuah harapan yang mendambakan negerinya
bebas dari ketakutan, tempat cinta dan bunga-bunga mekar dengan
indah, itulah Indonesia dalam mimpi Aguk.

Kemudian serunya kepada semua orang; ......bangunlah wahai
pemimpi/lihat huruf-huruf sudah/tak bisa dieja lagi apalagi
terbaca/anak-anak negeri (Bangunlah untuk Budiman S. Hartoyo, Kairo
2004, hal 70-71)

Aguk menjadi orang yang gelisah ketika harus berbicara tentang
keadaan bangsanya, Indonesia. Seperti menyimpan cemas dan gamang.
Sehingga dia lebih senang memandang keindahan itu sebagai mimpi.
Kepada penyair yang telah berumur dia berkeluh kesah; ...... pada
harihari ini memang kita saksikan/kekalahan seribu wajah kita
untuk/mengundang pagi yang cerah dengan/firdausfirdaus baru yang
mengantarkan pelaut/malam pada matahari (Tangis untuk D. Zawawi
Imron, Kairo 2004, hal 79-80. Dia mencoba mengajak Zawawi Imron sang
Celurit Emas untuk berdialog. Dia mengungkapkan; mari kita hitung
berapa harihari yang/tersisa tanpa tangis sebelum usaiusai
hari/luruh dalam gelap.

Itulah penyair dari Lamongan yang berkeluh kesah tentang bangsanya
yang sedang terluka dan menderita. Diraciknya keluh kesah dan
mimpinya dalam sajak-sajak yang dipersambahkan kepada penyair-
penyair tanah airnya yang setia mencatat dan merekam peristiwa pedih
yang mengiringi perjalanan bangsa.

Kepekaan penyair dalam menyikapi keadaan bangsanya, menurut Aguk
tidak bisa muncul begitu saja. Dia harus banyak belajar dari para
pendahulunya yang mempunyai tradisi mencermati keadaan. Aguk merasa
telah berguru kepada semua penyair yang sempat dikenalnya maupun
yang hanya dibancanya. Seperti penuturannya dalam salah satu puisi
untuk penyair Gunawan Mohamad; ....Diamdiam aku meracik mimpi/dari
denyut jantungmu/seperti daun, diamdiam memang aku/menyaring desah
anginmu (Guru untuk Gunawan Mohamad, Kairo 2004, hal 119-120)

Dia juga mengungkapkan kekagumannya kepada WS. Rendra yang selalu
berteriak lantang pada ketidakberesan yang terjadi di negeri ini.
Juga kepada Agus R. Sardjono; di negeri Fir'aun kita bercakap di
bundaran/deretan kursi, kau baca pikiranku yang/berkelebat ke sana
ke mari dan kau rangkum/setiap kata dengan kalimat yang
singkat:/salah! (Kenangan untuk Agus R. Sardjono, Kairo 2004, hal 20-
21). Dia memang berguru pada semua penyair. Dengan begitu dia tetap
mampu melihat terang meski semua orang merasa gelap sebagaimana
ketika membaca Afrizal Malna; malam telah memberiku gelap
memang,/gelap di seluruh penjuru, tetapi tidak pada kau,/dalam gelap
kau selalu benderang dan tidak/sembunyi, bahkan dalam gelap kau
selalu/menghadirkan siang, dalam percakapan/dari percikan sinar,
dalam malam kau/terbangkan angin yang jauh dalam/sajaksajakmu (Gelap
untuk Afrizal Malna, Kairo 2004, hal 18-19).

Dan untuk penyair-penyair sahabatnya sedaerah (Lamongan) dia
menulis ; apa yang terlintas dalam kenangmu saat kita/baca/katakata
berasama//yang kau katakan saat perjalananku sampai/"segeralah
mampir ke rumah tengok derai gerimis sore/hari yang/menetes dari
atap rumahku, dan kita/menghirup udara/yang dingin membeku dari
langitlangit kamar, sambil/mengintip halilintar di luar"//saat aku
ingin berjalan dan sampai/kepadamu, rasanya/aku tak perlu lagi
katakata, karena bukankah/kita/sudah begitu mengerti tentang
beranda/rumah kita yang/sama. Dan di sana telah kita tanam
bersama/kesegaran/hidup kanakkanak dari titik hujan di luar/dan
tangis/hujan (Halaman untuk Viddy Alymahfoedh Daery).

Membaca buku Liku Luka Kau kaku seperti menyelami pedalaman seorang
anak negeri yang lahir dari tanah pergerakan Lamongan, yang menebar
pasir kerinduan Mesir dan merangkul negeri yang luka Indonesia.
Seperti bersilaturahmi dengan hati kepada setiap orang yang merasa
Indonesia dari bahasa.

Itulah kerja keras Aguk yang telah melahirkan sekian kata-kata yang
dirangkainya dalam 200 judul sajak yang dipersembahkan untuk 200
penyair senegerinya. Dalam satu tahun dia menghasilkan 200 sajak,
wah, sebuah kerja yang tidak main-main. Mungkin karena itu, Aguk
sering menggunakan idiom yang seakan berulang-ulang muncul. Atau
mungkin saja dia punya maksud mengulang-ulangnya, seperti mimpi. Ya,
mimpi Aguk yang selalu terulang jika ingat negerinya. Sementara dia
nun jauh di seberang, di tengah hamparan pasir yang gersang. Namun
dia tetap ingat. Dan ketika kita membacanya, kita pun ingat, negeri
ini punya mimpi.

Peresensi adalah budayawan, dan anggota DKS (Dewan Kesenian Surabaya)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home