Monday, June 20, 2005

--khairunnisa dalam kenangan

ALBUM HITAM

Satu persatu wajah Indonesia kubuka
o betapa sederatan duka penuh luka
wajah anakanak berkejaran dengan air mata
menyayat o, perih o, kejamnya
mati tanpa matahari pagi
dan energi

siapa yang menerkam wajahwajah itu?
hilang dalam kesenyapan
tiada langit
tiada bumi
tiada cakrawa
terbakar api Ibukota
terapung dalam katakata

Kairo, 2005

KAU

Dari sini,
dari bermilmil jarak, juga lintas benua
kucium aromamu apak bercampur duka
meski tiada hujan yang jatuh

dari sini,
kukirimkan hujan air mata
jatuh deras mengulur tubuhmu
meski kering kembali kerontang

di sini aku melihatmu
berlari menatap butiran air mata
tak ada yang mengenalmu
orangorang diam
seperti karang di dalam lautan

langitmu adalah langit bekas
bumimu adalah bumi sampah
di ganggang jalan trotoar
barang rongsokan

kau begitu bau
kau begitu abu
kau begitu debu
retak dalam waktu

Kairo, 2005


SAJAK SEORANG AYAH KEPADA ANAKNYA

Anakku, maafkan ayahmu
kubawa kau di puncak yang paling perih
justru ketika orang bilang ini reformasi

iya anakku, jangan lagi kau tanya
apa itu demokrasi?
atau makna gambar partai?

sebab nyatanya hidup kita ini
tiap hari sendirisendiri
memanggang tubuh di terik mentari
memandang karduskardus bekas
botolbotol plastik atau
besibesi rongsokan

sama halnya rongsoknya
kehidupan di kotakota
rumahrumah megah
kantorkantor birokrat Negara
yang selalu membawa namanama kami

ah anakku, lihatlah Indonesia hari ini
betapa manusia menjadi batu
yang angkuh di tengah gelombang
betapa manusia menjadi kelam
gelap tak berbentuk
hanya seperti kerlip saja

persaudaraan lepas
kewajiban lepas
hak lepas
tak jauh seperti kardus bekas
yang terlipat dalam sampah

kemanusian terhempas
di tengah lautan
keadilan terselip dalam surga
yang tak pernah nyata

lihat itu para birokrat Negara
sibuk menghitung berapa miliar
jumlah pendepatan gelap
dengan fasilitas yang mewah
lalu menjelma menjadi rayap
dan srigala tua

ya, ya anakku, maafkan ayahmu
tak bisa mengajarimu
bagaimana cara menikmati puisi
atau mungkin riangnya bernyanyi
atau menari di negeri ini
sampai kau mati di tengah badai

sebab ini tubuh betapa melepuh
sebab ini kaki betapa lumpuh
sebab ini hati menjadi kaku
dan di kotakota orang hanya membisu

Kairo, 2005


EPISODE

Membacamu….
seperti membaca gerimis di tengah malam
bekejaran dengan petir dan kelam
dalam derai dan ketakutan
setiap satu kata adalah titik air dalam hujan
yang menembus kulitku
melahap jantungku

Kairo, 2005







إ

0 Comments:

Post a Comment

<< Home