Tuesday, June 21, 2005

Seni dan "Mass-Culture"

Saturday, February 21, 2004

Seni dan "Mass-Culture" (HU Pikran Rakyat)

(catatan Ikranagara)

PADA tahun 1960-an, bahkan sejak sebelum adanya kontroversi Kaum Manifestan dan Lekra, drama "Iblis" karya Mohamad Diponegoro laris dipentaskan di banyak tempat di negeri kita. Kisahnya adalah Iblis yang berusaha menggoda Nabi Ibrahim agar menolak perintah Tuhan yang didapatnya lewat mimpi. Berbagai godaan Iblis itu tidak mempan.
Siapakah seniman yang mementaskan drama "Iblis" ini? Tidak terbayangkan oleh saya bahwa ada seniman non-Muslim yang mau mementaskannya. Sama halnya dengan operetta "The Night Visitors" yang menggambarkan kelahiran Jesus yang mendapat kunjungan tiga raja yang mengikuti petunjuk bintang kejora di langit itu, tidak terbayang oleh saya grup teater yang mementasan "Iblis" itulah juga yang mementaskan operetta tentang kelahiran Jesus ini. Seniman teaternya masing-masing menggarap karya berbeda itu berdasarkan agama yang dianutnya, bukan?

Siapakah penonton "Iblis" dan "The Night Visiters" itu? Penonton "Iblis" tentulah masyarakat Islam, sedangkan penonton "The Night Visitors" adalah masyarakat Kristen. Setuju tidak setuju, di luar pembahasan naskahnya itu kayak apa mutunya ditinjau dari sudut estetika, toh masyarakat dan senimannya memang telah mematok adanya seni yang Islami dan seni yang Kristiani. Lagu-lagu Trio Bimbo, misalnya, diterima sebagai seni suara yang Islami, dan pada bulan Puasa ini, juga Lebaran nanti, lagu-lagu semacam ini laku keras, bukan?
Sama halnya di AS sekarang ini laku-laku pop bertema Kristiani, lengkap dengan vokabulari khas seperti Jesus, My Lord, Holly Spirits, Bethelhem, dan lain-lain, semua itu diusung dalam lirik-liriknya, dinyanyikan oleh generasi muda di AS yang taat kepada gereja, dan dipanggungkan secara komersial sambil dipublikasikan sebagai karya musik Kristiani.
Soal mutunya, karya-karya yang berorientasi kepada keyakinan agama itu, tergantung siapa yang melakukan penilaian. Kalau kita perhatikan peristiwa sosialnya, jelas yang melakukan penilaian itu adalah masyarakat pemeluknya, yang keyakinan agamanya sama dengan senimannya. Jadi, menurut saya, ini tergolong folk arts atau "seni masyarakat" atau "seni rakyat" yang tentu saja di dalam istilah ini maksudnya adalah "masyarakat/rakyat tertentu" atau "masyarakat/rakyat terbatas." Bagaimana caranya suatu masyarakat melakukan penilain mana karya seperti itu yang bisa diterima dan mana yang tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini kita tidak bisa melakukannya dengan membuka buku-buku estetika yang obyektif ataupun mengandalkan kepada kritik subjektif kita. Yang melakukan penilaian itu adalah "masyarakat/rakyat terbatas" itulah, karena itu survei perlu dilakukan, kemudian kita bisa merumuskan ukuran apa yang mereka pakai itu--yang dominan tentu saja! Saya belum pernah melakukan survei semacam itu, juga belum pernah membaca hasil survei dilakukan di bidang itu. Saya hanya menduga bahwa ukuran penilaiannya adalah ajaran ideal agama masing-masing yang dijadikan pegangan oleh masyarakatnya, artinya, nilai dakwahnya, sebagai yang dominan, sedangkan nilai keindahannya dan lain-lain, itu bergantung kepada selera pasar di dalam "masarakat tertentu" pada masa tertentu pula.

Kesimpulan sementara saya, seni religius seperti itu adalah seni massa, termasuk ke dalam lingkup mass-culture. Di dalam mass-culture itu berlaku hukum pasar seperti sudah saya gambarkan tadi, yakni bergantung sepenuhnya pada hasil interaksi antara seniman pencipta dengan masyarakatnya.

Kita bandingkan dengan karya sastra berupa novel berjudul Dokter Zhivago. Saya harap sebagian besar dari kita sudah membaca karya Boris Pasternak Dokter Zhivago yang memenangkan Hadiah Nobel itu. Atau, menonton filmnya yang dibintangi oleh Omar Syarif itu. Karya sastra (bukan karya filmnya) ini sangat berpengaruh kepada diri saya, baik sebagai manusia maupun sebagai seniman. Tentu saja ada karya-karya sastra lain yang juga berpengaruh kepada saya, antara lain karya-karya sastra Kafka, selain juga karya sastra lama warisan kita "Pararaton" dan "Serat Centhini" yang kaya dengan magic realism itu.
Bagian awal novel karya Pasternak itu mengungkapkan pandangan Kristiani yang diwakili oleh paman tokoh utama. Dia menolak pandangan Kristen yang diwakili oleh Tolstoy yang menekankan kepada ritual, karena itu dia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai pendeta gerejanya. Dia mementingkan ajaran Jesus yang menekankan kepada pembelaan terhadap kaum melarat dan tertindas. Ini mengingatkan saya kepada faham yang kemudian lahir di Amerika Latin, yaitu "Teologi Pembebasan" atau juga yang dikenal di kalangan Islam yang menekankan tafsir "Ibadah Sosial" sebagai yang terpenting dalam berkiprah menjalankan ajaran agama.

Pandangan pamannya itulah yang memengaruhi Zhivago. Dia tidak tertarik kepada agama, dan dia memilih menjadi seorang dokter yang dijiwai oleh hasrat untuk menolong orang lain dengan ilmunya. Jadi, kepercayaannya beralih dari agama kepada ilmu pengetahuan.
Bagaimana dia menjalani hidup spiritualnya? Caranya adalah dengan menulis puisi-puisi yang tidak ada kaitannya dengan masalah sosial apalagi bertema politik, melainkan puisi-puisi yang sangat pribadi sifatnya, antara lain ungkapan cintanya kepada Lara kekasihnya, wanita yang dicintainya gara-gara "pandangan pertama," dan bukan puisi untuk Tonia yang menjadi istri resminya.

Selanjutnya dalam hal ideologi atau pandangan hidupnya, saya menangkap Dokter Zhivago adalah seorang humanis yang antikekerasan, yang keras menolak ideologi komunisme yang menghilangkan kehadiran manusia sebagai pribadi, komunisme yang mengajarkan manusia pribadi tidak penting sebab ada cita-cita nun jauh di depan yang lebih besar. Oleh karena itu, komunisme menghalalkan segala cara, seperti yang dianut oleh Antipov (beralih nama menjadi Strelnikov setelah menjadi komandan Tentara Merah), yaitu suami Lara yang meninggalkan istri dan putrinya demi berjuang menegakkan komunisme di Uni Soviet dengan tangan besi dan darah. Bagi Dokter Zhivago, Marxisme itu sama sekali tidak ilmiah, jadi bukan ilmu pengetahuan. Padahal, pegangan hidupnya adalah ilmu pengetahuan.
Karya Dokter Zhivago ini diterbitkan ketika Uni Soviet sedang jaya-jayanya dan masyarakat luas di sana sedang gandrung kepada ajaran Komunisme. Alih-alih dari menjadi bagian dari mass-culture masyarakat komunis, Pasternak justru melawan arus besar itu. Akibatnya, dia pun dimusuhi oleh pemerintahnya.

Memang, ada yang mengatakan bahwa bagaimanapun secara keseluruhan Dokter Zhivago itu landasannya adalah ajaran kasih Kristiani juga. Masyarakat Kristiani itu eksis di sana meskipun di bawah peindasan kekuasaan komunis. Saya justru berbeda pendapat karena yang saya tangkap dari membaca novel itu adalah Dokter Zhivago itu tidak beragama meskipun percaya kepada adanya Tuhan, atau sesuatu yang misteri dalam hidup ini. Dia seorang agnostik.
Singkatnya, karya Pasternak itu selain bukan tergolong mass-culture apalagi "dakwah antikomunis," meskipun di dalamnya diungkapkan pandangan seperti itu, selain juga pandangan dari lawannya-lawannya seperti diwakili oleh Antipov misalnya, karya itu menekankan kepada relasi antara manusia-manusia pelakunya yang digambarkan sebagai makhluk berdaging, berdarah, bersyaraf, berfikir, berperasaan --- manusia-manusia yang hidup sebagai pribadi-pribadi empat dimensi, bukan sebagai tokoh dua demensi belaka. Tokoh-tokoh novel itu hidup sebagai anak manusia di dalam diri kita setelah kita baca novel itu. Itulah kondisi kemanusiaan kita di suatu tempat pada kurun waktu tertentu dalam perjalanan panjang sejarah manusia di bumi ini. Itulah sastra. Itulah seni. Menurut saya lo!***

Bloomington, November 2003.

*) Catatan ini saya buat setelah membaca "Tak Ada Sastra Islam?" tulisan Aguk Irawan "agukirawan@yahoo.ca", disiarkan lewat Khazanah terbitan 6 November 2003, sekadar sebagai pembanding saja, tidak ada maksud untuk membantah atau membenarkan isi tulisan tersebut. Aguk Irawan "agukirawan@yahoo.ca" berhak punya pendapat seperti itu, demikian juga yang lain yang mungkin punya pendapat berbeda, juga berhak tampil.*

0 Comments:

Post a Comment

<< Home