Wednesday, June 22, 2005

WacanaTeologi dan Jebakan Pembebasan Sastra

Minggu, 21 Desember Pada Republika Ahad, 23 November 2003, Aguk Irawan MN menulis artikel berjudul Merumuskan Kembali Konsep Sastra Islami. Beberapa hari sebelumnya, di sebuah mailing list, saya sempat membaca artikel yang isinya sama, tapi judulnya Tidak Ada Sastra Islami.

Dalam tulisannya itu Aguk sama sekali tidak tidak merumuskan kembali konsep sastra Islami, melainkan mendekontruksi (tanpa mencoba merekonstruksi) sekaligus menolak Sastra Islami. Bagi Aguk, sastra Islami adalah sebuah pembatasan.

Aguk menulis, "Namun saya akan mencoba menggali berbagai kekuatan ekspresi sastra yang pada gilirannya disepakati sebagai sebuah produk proses demi mempresentasikan identitas agama atau politik, dalam presentasi estetik yang lebih bermutu dan sekaligus meluruskan agar sastra punya nilai uji dan usia yang lama. Jika sastra dipagari, ia bakal kempis ditiup zaman dalam lingkup negara bangsa yang sudah mengalami deterirorialisasi dalam pengertian reduksi ruang dan waktu."

Bagi Aguk, "membebaskan fungsi sastra dari pemahaman formal sastra Islami berarti melepaskan kungkungan dalam sebuah bangunan struktur yang merujuk pada penafsiran tunggal dengan pagar agama. Bagaimanapun, sastra itu bermain dalam wilayah estetika, bukan dalam wilayah teologi."

Begitulah. Aguk hendak membebaskan sastra --demikian pikirannya saya simpul dan sederhanakan-- dari unsur agama dan politik. Sastra yang bagus, bagi Aguk adalah sastra untuk sastra, lart por lart, sastra murni. Baginya, Sastra Islami adalah penjara bagi dunia sastra, dan wajib "dibunuh". Dengan kata lain, salah satu usaha membebaskan karya sastra adalah dengan membunuh genre sastra Islami, sastra dakwah atau apapun di luar "sastra pada dirinya sendiri".

Dalam paragraph-paragraf pertama disebutkan sejarah sastra di Indonesia, yaitu era Lekra yang menganut realisme sosialis melawan kaum Manifes Kebudayaan (manifestan) yang menganut faham humanisme universal. Kata Aguk, kaum manifestan adalah penganut prinsip humanisme universal dan bermoto lart pour lart, seni untuk seni.
Tampaknya, Aguk berpihak pada kaum manifestan ini. Tetapi di sini ada kejanggalan besar. Benarkah kaum manifes dan simpatisannya penganut seni untuk seni? Apakah Sori Siregar, Arif Budiman, Gunawan Muhammad, dan lainnya hanya berkarya untuk sastra pada dirinya sendiri? Saya pikir tidak. Mungkin ada penulis atau sastrawan di Indonesia yang menganut sastra murni seperti itu, tetapi yang jelas kaum manifes --yang saya baca karyanya dan saya tengok kepribadiannya-- tidak seperti itu. Mereka menulis untuk sesuatu, untuk sebuah tujuan. Kaum manifes yang saya pahami menulis untuk kemanusiaan. Tujuannya jelas, tidak sekadar eksperimental yang personal atau akrobat keahlian menulis semata.

Saya kira, seorang manusia menulis karena tujuan dan kepentingan tertentu, apa pun tujuannya itu. Apakah karena kegelisahan jiwanya, karena ingin memberitahukan sebuah informasi kepada pembaca, ingin mencurahkan perasaannya, atau bahkan sekadar mencari uang. Yang jelas, pasti ada tujuannya.

Sewaktu kuliah S1 (Sastra Arab UI), sekitar 8 tahun yang lalu, saya diajarkan bahwa salah satu fungsi karya sastra adalah menghibur dan mendidik. Karya sastra juga berfungsi sebagai pembersihan jiwa (katarsis). Dalam kajian intrinsik, ada unsur yang bernama amanat atau pesan moral. Dalam terminologi Islam, sebuah ajakan, penyebaran ide, dan yang sebangsa dengan itu diistilahkan dengan dakwah. Dan saya kira, semua genre dan aliran sastra melakukan dakwah dengan cara dan ideologinya masing-masing, dengan berbagai cara, dari yang paling kasar (ideologis, propaganda) hingga halus (estetis).

Jadi, saya kira, seseorang menulis karena ada tujuannya. Sastra Islami, sastra dakwah, atau apapun namanya, hanyalah salah satu genre saja. Demikian pula dengan seni untuk seni yang bersifat eksperimental dan personal, hanyalah salah satu cabang saja. Sastra murni bukan satu-satunya pilihan, kecuali kalau mau menjadikannya sebagai panglima.

Aguk menulis, "Dengan gerakan seperti itu, tentu saja tidak setiap penulis pemula merasa nyaman berada di sana, dan bagi yang tidak setuju dengan gerakan sastra Islami itu, mungkin mengajukan sebuah soal: Kenapa sastra harus diberi baju Islam? Bukankah dengan demikian justru membatasi ruang dan gerak sastra itu sendiri? Bagaimanapun, urusan yang terpenting dalam sastra adalah permainan estetikanya, lantas tidakkah mengganggu agama dimasukkan ke dalamnya sebagai ideologi sastra?"

Saya kira tergantung pada individu masing-masing. Ada penulis yang terbebani, tetapi ada juga yang tidak. Ada yang malah berat ke dakwahnya alias lebih mirip ceramah. Ada yang menjurus ke 'Lekra Islami' --agama sebagai panglima yang mengenyampingkan estetika alias nilai kesusastraannya. Tapi tidak berarti dominan. Ada tapi tidak semua. Saya kira tak usahlah kita generalisasi bahwa semua karya yang bernuansa agama atau dakwah akan mengganggu estetika, bahwa agama dan sastra haruslah terpisah sama sekali. Siapa yang bisa mengingkari nilai sastra dari Muhamamad Iqbal, misalnya?

Lantas saudara Aguk menyatakan bahwa Iqbal menulis sebuah karya tanpa kaitannya dengan agama dan politik. Wah, jangan-jangan penafsiran saya terhadap Iqbal yang salah. Iqbal yang ketua Liga Muslim yang turut membentuk negara Islam Pakistan dan berpisah dari India itu? Iqbal yang menulis antologi Pesan-Pesan dari Timur itu? Saya kira tidak benar kalau semua sastra yang hendak memuat sesuatu yang Islami adalah sebuah pembatasan atau pemagaran.
Ada memang, tetapi tidak semua.

Saya kira, justru ketika Aguk menyatakan bahwa semua karya sastra haruslah seni untuk seni, berarti sebuah pemagaran. Jika semua karya sastra haruslah seragam dengan satu genre saja, berarti itu adalah pembatasan. Jikalau sastra haruslah dibebaskan dengan cara membunuh genre sastra dakwah atau sastra Islami, itu adalah sebuah pemenjaraan. Jangalah genre sastra yang satu dibebaskan dengan cara mencekal genre sastra yang lainnya. Biarkanlah semua genre sastra tumbuh dan berkembang. Biarlah nanti sejarah --dan pasar-- yang menentukan.
Memang banyak dari genre sastra dakwah yang harus dibenahi di sana-sini, tetapi upaya pembunuhan terhadap genre itu bukanlah cara yang baik dan cerdas. Karena, bagi saya, genre sastra dakwah, adalah juga bagian dari sastra yang punya hak hidup dan juga merupakan asset bangsa.

Terakhir, Aguk membedakan antara sastra dakwah dengan sastra sufi. Tulisnya, "Jadi, terminologi sastra Islam hanya berlaku dan cocok pada isi sastra yang bersifat religius sebagai makna (seperti puisi-puisi sufi). Sekali lagi bukan sebagai cara berdakwah atau alternatif dakwah."

Mungkin yang dimaksud adalah menolak semangat propagandis dan ideologis, dan menekankan pada semangat estetis. Aguk takut jika sastra dipenuhi dengan simbol kebendaan seperti kopiah dan ucapan-ucapan seperti "assalamu'alaikum" dan "astaghfirullah". Aguk ingin agar substansi yang terpancar, dan bukan kulit luar. Ini saya setuju. Tetapi bila lantas digeneralisasikan bahwa semua sastra dakwah pastilah "kulit luar yang kering estetika" dan sastra sufi adalah kental dengan substansi yang estetis, tidak benar.

Bila, ternyata ada karya Islami yang berdakwah dan tidak terjebak dengan upaya propaganda yang kasar dan kering estetika, dan menekankan substasi di atas simbol-simbol kulit luar, bagaimana? Apakah tidak melihat kemungkinan seperti itu? Kalau dengan agama, sebuah karya sastra tidak terjebak atau terkungkung, malah bebas lepas bagaimana? Sebab, saya piker, orang menulis dengan dasar lingkaran social, budaya,dan sejarah yang ada di sekitarnya. Kalau sang penulis kental dengan lingkup social, budaya, dan sejarah yang bernuansa Islami, tentulah karyanya tidak jauh dari kesehariannya.

Saya cenderung kepada konsep sastra profetik dari Kuntowijoyo. Kunto pernah menulis, seorang Muslim yang baik adalah yang bisa menginternalisasi nilai-nilai keislaman ke dalam dirinya. Dengan begitu, setiap ucapan dan tindakannya --termasuk tulisannya-- yang keluar adalah yang Islami, baik dengan simbol-simbol keagamaan yang nyata maupun hanya substansinya. Karena, seorang Muslim yang baik pastinya ingin segala kesehariannya sedekat mungkin dengan kemauan Tuhannya.

Jadi, kalau ada sesuatu yang kurang benar, jangan dibunuh, tapi ditolong, dibantu, dengan cara memberikan kritikan yang membangun dan masukan yang benar, sambil terus memberikannya hak hidup. Biarlah bunga sastra Islami tetap ada di taman sastra Indonesia. Tinggal bagaimana kita mengingatkan sang empunya untuk terus menyiraminya dengan air, memberinya pupuk, dan merawatnya dengan telaten, agar sang bunga bisa cepat merekah dan publik bisa memetiknya dengan senang hati.

Ekky Malaky Alumnus Pasca-Sarjana Ilmu Filsafat Fak Ilmu Pengetahuan Budaya UI(Ekky Malaky)

© 2005 Hak Cipta oleh Republika Online Dilarang menyalin atau mengutip seluruh atau sebagian isi berita tanpa ijin tertulis dari Republika Kirim Artikel Koran Kontak Webmaster

1 Comments:

Blogger udin said...

numpang baca. blog yang inspiratif. saya link ke blog saya boleh kan?

salam,
udin

9:33 AM  

Post a Comment

<< Home