Tuesday, July 05, 2005

pagi entah senja entah

pagi yang tak menemukan matahari
entah?
(!)
senja yang tak menemukan malam
entah?
(!)

4 Comments:

Blogger -Filantropy- said...

Mas Aguk, maaf sebelumnya, saya kurang begitu bisa kalau soal mengomentari. Sebab, saya bukan kritikus sastra. Perihal kedua cerpen mas Aguk itu, okelah, mungkin ini sekedar ulasan selera saya sebagai pembaca kali yah! :D

Dua cerpen mas Aguk itu telah saya lumat habis2an, bahkan tak bersisa sedikitpun. Bisa jadi, waktu itu saya memang sedang kelaparan, atau mungkin juga, karena saya benar2 keenakan menikmati kedua hidangan itu. Sehingga yang ada hanyalah sebentuk kepuasan -bukan komentar-, bahwa; (kalau boleh saya bilang) kedua cerpen mas Aguk sarat dengan makna/nilai. Romantis dan menghanyutkan.

Cerpen; "Aku, Lelaki Asing, dan Sebuah Kota" berbicara tentang keutuhan rumah tangga yang terkira (sekali lagi, ini menurut selera saya lho, mas :D). Yang lebih ditekankan dalam cerpen ini adalah mengenai tanggung jawab seorang suami dalam menjaga cintanya. Konsekwensi dan komitmen. Dan, (kalaupun boleh saya bertanya nih? :D) Kenapa hanya suami yang dipertanyakan. Sementara sang istri tidak! Seberapa tinggikah kesetiaan seorang perempuan dalam menjaga keutuhan cintanya? Sampai di sini saya jadi teringat novelnya mas Eka Kurniawan, "Cantik Itu Luka". Dan kemudian, benak saya dideret kesebuah lembah, yang di sana saya temukan sebuah novel yang berjudul, "Lelaki Harimau". Lalu, mana yang salah...? Pikiran bicara.

Cerpen; "Laut dan Bibir yang Bertahi Lalat (Empati pada Illa)" berbicara tentang kematian yang tak terduga (sekali lagi, ini menurut selera saya lho, mas :D). Dan, menurut yang saya tangkap dan cermati dalam cerpen ini adalah bentuk kesederhanaan bahasanya. Baik dialognya, maupun deskripsi kalimatnya. Diksinya pun sangat kuat. Tapi sayang, kematian si Andeng meniggalkan sebentuk tanya (?) di benak Agus kini.
Lalu, sampai kapan ia harus rela menunggu tabir itu tersingkap...? Entah!

=8=

Mungkin hanya itu yang dapat saya tinggalkan di blog yang sangat inspiratif ini. Selebihnya, adalah saya, seorang murid yang selalu dan selalu menunggu titah dan bimbingan dari sang maha guru dalam bersastra.

Salam PiRAMIDA
Fathul Wafie
Kairo, 28 September 2007

Eiiittttt... Hampir saja ada yang lupa, dinks :D. Diucapkan; Selamat berkunjung ke blog saya :).

6:38 PM  
Blogger Ladang Sunyi said...

Sajak-sajak: Matroni A el-Moezany*




Singgasana




Jurang zaman telah jatuh pada waktu

terkulai dikerajaan singa

zaman itu sebuah ruang

terisi warna dan waktu

melekat pada singgasana




Kiranya malam tak ada di sana

pada sinar jiwa yang gelap

mungkinkah surau akan jadi hari?

tanya itu sebuah mimpi

menjadi bunga

dikedalaman mata




Waktu terus berlaju

seperti kapal berlayar bersama samudera

bayu hilir kian larut di sumbu cinta

munginkah dikedalaman itu

kau sadar sebuah kata yang belum selesai

terakit menjadi puisi?




Akhirnya kau sadar

Tenyata kau adalah "Aku"




Yogyakarta 2008




13+28=4




Di ruang ragam ini

dunia menjadi semesta ketakterbatasan

pada lembar kanvas putih

tergenang seperti tinta

tertanam seperti bunga

kadang menjadi cinta

kadang menjadi hampa

dan akhirnya menjadi rasa




Yogyakarta 2008




Matahari Aku Mau Pergi




Matahari aku mau pergi

aku ingin sinarmu menjadi baju baru

tapi tak punyak uang, ibuku masih jauh di sana

sedang ayah hanya bisa kubayangkan

bolehkah, matahari, kutitipkan baju ini sehari?




Matahari tertegun, masihkah ada yang butuh

baju yang kusam di antara rerumpun warna-warni

baju lipstikkan

matahari telanjang, mengenakan pada peminta

yang sering muram durja di trotoar malam

matahari sendiri, rela telanjang,

bagi tanpa ruang dan tak punya pulang




Yogyakarta, 2008




Keabadian Bibirmu




Keabadian bibir dalam zdikir

seperti semak yang membaja

senantiasa basah

menghisap segala petualang jiwa

dikejauhan matahari




Hijau rapuh dijejak masa

tumbang hingga malam

aku mengira, telapak kakiku

tak lagi ada kata

yang harum meredup

pada bibirmu




Kala siang hari memberontak sepi

hutan menguncup, bunga bermekaran

melebur pada semak di bibirmu

yang tak hanya tajam, tapi berdarah

yang menjadi senyum

sementara daun bibirmu

terkejut menguyahkan sesemi A, Ba, Ta

yang berulang-ulang

jadi waktu dan kamu

jadi bahasa, habis

dan sebatas zdikir




Yogyakarta, 2008




Dari Kata Tercipta Tuhan




kataku melesat diapit dua samudera

cakrawala mati di jiwamu

sementara laut beku di pikiranmu

air dan tanah bertemu, di ujung mataku

bulan tenggelam, waktu berhenti, kauaku

tak bisa berpuisi, kecuali lepas

aku pergi kau tak datang juga

tuhan diam

dosa terbayar

manusia

fana




Yogyakarta, 2008




*Penyair Kelahiran Sumenep, aktif kajian sastra dan budaya kutub Yogyakarta, aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI), Antologi "Sebuah Tanya di Ladang Sunyi (2005)". Aktif di komonitas Lingkarang ‘06’ . Tulisannya di publikasikan di media, baik lokal maupun nasional. Tinggal di Yogyakarta

5:57 PM  
Blogger irwanbajang said...

tak sengaja ketemu mas aguk di togamas pas acara bedah buku jejak kala..hehehe
duduk bersebrangan dan sama2 kebingungan
nemu juga di internet


salam Mas!!

11:17 AM  
Blogger Semesta Dalam Sastra said...

hem

9:24 AM  

Post a Comment

<< Home