Mas Aguk, maaf sebelumnya, saya kurang begitu bisa kalau soal mengomentari. Sebab, saya bukan kritikus sastra. Perihal kedua cerpen mas Aguk itu, okelah, mungkin ini sekedar ulasan selera saya sebagai pembaca kali yah! :D
Dua cerpen mas Aguk itu telah saya lumat habis2an, bahkan tak bersisa sedikitpun. Bisa jadi, waktu itu saya memang sedang kelaparan, atau mungkin juga, karena saya benar2 keenakan menikmati kedua hidangan itu. Sehingga yang ada hanyalah sebentuk kepuasan -bukan komentar-, bahwa; (kalau boleh saya bilang) kedua cerpen mas Aguk sarat dengan makna/nilai. Romantis dan menghanyutkan.
Cerpen; "Aku, Lelaki Asing, dan Sebuah Kota" berbicara tentang keutuhan rumah tangga yang terkira (sekali lagi, ini menurut selera saya lho, mas :D). Yang lebih ditekankan dalam cerpen ini adalah mengenai tanggung jawab seorang suami dalam menjaga cintanya. Konsekwensi dan komitmen. Dan, (kalaupun boleh saya bertanya nih? :D) Kenapa hanya suami yang dipertanyakan. Sementara sang istri tidak! Seberapa tinggikah kesetiaan seorang perempuan dalam menjaga keutuhan cintanya? Sampai di sini saya jadi teringat novelnya mas Eka Kurniawan, "Cantik Itu Luka". Dan kemudian, benak saya dideret kesebuah lembah, yang di sana saya temukan sebuah novel yang berjudul, "Lelaki Harimau". Lalu, mana yang salah...? Pikiran bicara.
Cerpen; "Laut dan Bibir yang Bertahi Lalat (Empati pada Illa)" berbicara tentang kematian yang tak terduga (sekali lagi, ini menurut selera saya lho, mas :D). Dan, menurut yang saya tangkap dan cermati dalam cerpen ini adalah bentuk kesederhanaan bahasanya. Baik dialognya, maupun deskripsi kalimatnya. Diksinya pun sangat kuat. Tapi sayang, kematian si Andeng meniggalkan sebentuk tanya (?) di benak Agus kini. Lalu, sampai kapan ia harus rela menunggu tabir itu tersingkap...? Entah!
=8=
Mungkin hanya itu yang dapat saya tinggalkan di blog yang sangat inspiratif ini. Selebihnya, adalah saya, seorang murid yang selalu dan selalu menunggu titah dan bimbingan dari sang maha guru dalam bersastra.
Salam PiRAMIDA Fathul Wafie Kairo, 28 September 2007
Eiiittttt... Hampir saja ada yang lupa, dinks :D. Diucapkan; Selamat berkunjung ke blog saya :).
*Penyair Kelahiran Sumenep, aktif kajian sastra dan budaya kutub Yogyakarta, aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI), Antologi "Sebuah Tanya di Ladang Sunyi (2005)". Aktif di komonitas Lingkarang ‘06’ . Tulisannya di publikasikan di media, baik lokal maupun nasional. Tinggal di Yogyakarta
Lahir di Lamongan 1/4/1979.
Menulis di berbagai koran lokal-nasional; seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Republika, Pikiran Rakyat, Suara Pembaharuan, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, Majalah Horison, Kalimah, Gong, dll.
Sebagian sajaknya diterjemahkan oleh Mahmud Hamzawi ke dalam bahasa Arab, dan sering disiarkan di radio Internasional. BBC Egypt, RCSI Po Box 566, Cairo 115511 RAM, gelombang 19 MSW Frekwensi 15,575 MHz.
ٍKarya tulisnya, diantaranya bisa ditemukan di antologi bersama "Negeri Pantai", "Lelaki Tanpa Nama,"Maha Duka Aceh", "Sepotong Sajak Sesobek Indonesia", "Antariksa Dada", dll, sementara bukunya sendiri yang sudah terbit diantaranya. "Dari Lembah Sungai Nil", "Binatang Piaraan Tuhan","Negeri Sarang Laba-Laba","Hadiah Seribu Menara", kumpulan esai "Kado Milinium","Main Angin", "Liku Luka Kau Kaku","Penantian Perempuan", trilogi "Kitab Dusta dari Surga", "Sekuntum Mawar dari Gaza", "Memoar Luka Seorang TKW", "Seratus Kisah yang Menyejukkan", "Catatan Cinta Seorang Kawan", "Labirin Kematian", "Aku Lelaki Asing dan Kota Kairo", dll.Puluhan buku terjemahan dari bahasa arab
4 Comments:
Mas Aguk, maaf sebelumnya, saya kurang begitu bisa kalau soal mengomentari. Sebab, saya bukan kritikus sastra. Perihal kedua cerpen mas Aguk itu, okelah, mungkin ini sekedar ulasan selera saya sebagai pembaca kali yah! :D
Dua cerpen mas Aguk itu telah saya lumat habis2an, bahkan tak bersisa sedikitpun. Bisa jadi, waktu itu saya memang sedang kelaparan, atau mungkin juga, karena saya benar2 keenakan menikmati kedua hidangan itu. Sehingga yang ada hanyalah sebentuk kepuasan -bukan komentar-, bahwa; (kalau boleh saya bilang) kedua cerpen mas Aguk sarat dengan makna/nilai. Romantis dan menghanyutkan.
Cerpen; "Aku, Lelaki Asing, dan Sebuah Kota" berbicara tentang keutuhan rumah tangga yang terkira (sekali lagi, ini menurut selera saya lho, mas :D). Yang lebih ditekankan dalam cerpen ini adalah mengenai tanggung jawab seorang suami dalam menjaga cintanya. Konsekwensi dan komitmen. Dan, (kalaupun boleh saya bertanya nih? :D) Kenapa hanya suami yang dipertanyakan. Sementara sang istri tidak! Seberapa tinggikah kesetiaan seorang perempuan dalam menjaga keutuhan cintanya? Sampai di sini saya jadi teringat novelnya mas Eka Kurniawan, "Cantik Itu Luka". Dan kemudian, benak saya dideret kesebuah lembah, yang di sana saya temukan sebuah novel yang berjudul, "Lelaki Harimau". Lalu, mana yang salah...? Pikiran bicara.
Cerpen; "Laut dan Bibir yang Bertahi Lalat (Empati pada Illa)" berbicara tentang kematian yang tak terduga (sekali lagi, ini menurut selera saya lho, mas :D). Dan, menurut yang saya tangkap dan cermati dalam cerpen ini adalah bentuk kesederhanaan bahasanya. Baik dialognya, maupun deskripsi kalimatnya. Diksinya pun sangat kuat. Tapi sayang, kematian si Andeng meniggalkan sebentuk tanya (?) di benak Agus kini.
Lalu, sampai kapan ia harus rela menunggu tabir itu tersingkap...? Entah!
=8=
Mungkin hanya itu yang dapat saya tinggalkan di blog yang sangat inspiratif ini. Selebihnya, adalah saya, seorang murid yang selalu dan selalu menunggu titah dan bimbingan dari sang maha guru dalam bersastra.
Salam PiRAMIDA
Fathul Wafie
Kairo, 28 September 2007
Eiiittttt... Hampir saja ada yang lupa, dinks :D. Diucapkan; Selamat berkunjung ke blog saya :).
Sajak-sajak: Matroni A el-Moezany*
Singgasana
Jurang zaman telah jatuh pada waktu
terkulai dikerajaan singa
zaman itu sebuah ruang
terisi warna dan waktu
melekat pada singgasana
Kiranya malam tak ada di sana
pada sinar jiwa yang gelap
mungkinkah surau akan jadi hari?
tanya itu sebuah mimpi
menjadi bunga
dikedalaman mata
Waktu terus berlaju
seperti kapal berlayar bersama samudera
bayu hilir kian larut di sumbu cinta
munginkah dikedalaman itu
kau sadar sebuah kata yang belum selesai
terakit menjadi puisi?
Akhirnya kau sadar
Tenyata kau adalah "Aku"
Yogyakarta 2008
13+28=4
Di ruang ragam ini
dunia menjadi semesta ketakterbatasan
pada lembar kanvas putih
tergenang seperti tinta
tertanam seperti bunga
kadang menjadi cinta
kadang menjadi hampa
dan akhirnya menjadi rasa
Yogyakarta 2008
Matahari Aku Mau Pergi
Matahari aku mau pergi
aku ingin sinarmu menjadi baju baru
tapi tak punyak uang, ibuku masih jauh di sana
sedang ayah hanya bisa kubayangkan
bolehkah, matahari, kutitipkan baju ini sehari?
Matahari tertegun, masihkah ada yang butuh
baju yang kusam di antara rerumpun warna-warni
baju lipstikkan
matahari telanjang, mengenakan pada peminta
yang sering muram durja di trotoar malam
matahari sendiri, rela telanjang,
bagi tanpa ruang dan tak punya pulang
Yogyakarta, 2008
Keabadian Bibirmu
Keabadian bibir dalam zdikir
seperti semak yang membaja
senantiasa basah
menghisap segala petualang jiwa
dikejauhan matahari
Hijau rapuh dijejak masa
tumbang hingga malam
aku mengira, telapak kakiku
tak lagi ada kata
yang harum meredup
pada bibirmu
Kala siang hari memberontak sepi
hutan menguncup, bunga bermekaran
melebur pada semak di bibirmu
yang tak hanya tajam, tapi berdarah
yang menjadi senyum
sementara daun bibirmu
terkejut menguyahkan sesemi A, Ba, Ta
yang berulang-ulang
jadi waktu dan kamu
jadi bahasa, habis
dan sebatas zdikir
Yogyakarta, 2008
Dari Kata Tercipta Tuhan
kataku melesat diapit dua samudera
cakrawala mati di jiwamu
sementara laut beku di pikiranmu
air dan tanah bertemu, di ujung mataku
bulan tenggelam, waktu berhenti, kauaku
tak bisa berpuisi, kecuali lepas
aku pergi kau tak datang juga
tuhan diam
dosa terbayar
manusia
fana
Yogyakarta, 2008
*Penyair Kelahiran Sumenep, aktif kajian sastra dan budaya kutub Yogyakarta, aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI), Antologi "Sebuah Tanya di Ladang Sunyi (2005)". Aktif di komonitas Lingkarang ‘06’ . Tulisannya di publikasikan di media, baik lokal maupun nasional. Tinggal di Yogyakarta
tak sengaja ketemu mas aguk di togamas pas acara bedah buku jejak kala..hehehe
duduk bersebrangan dan sama2 kebingungan
nemu juga di internet
salam Mas!!
hem
Post a Comment
<< Home