Saturday, June 25, 2005

KEMANA ARAH SASTRA INDONESIA?

Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama, NU Mesir

LAPORAN BUDAYA, DARI OBROLAN SENI DAN SASTRA BERSAMA CAK NUN DI WISMA NUSANTARA, NASR CITY, CAIRO, PADA SELASA 29 APRIL 2003, DENGANTEMA: "DULU, KINI DAN ESOK: KEMANA ARAH SASTRA INDONESIA?"

Reporter: Muhammad Shalahuddin Tema: Menggagas (Lahirnya) Sastra Indonesia BaruTanggal laporan: 30 April 2003

Selamanya, industrialisasi akan selalu menjadi penghalang bagi sastra. Sebab dilihat dari sifat dan tampilannya, sastra mempunyai dua unsur pokok sastra itu sendiri sebagai jiwa serta "isi" sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh si empunya, dan yang kedua media sebagai wadah atau jasad dari jiwa tadi. Dalam cara lain, jika memakai rumus terminologi susastra, maka akan didapati 'su' sebagai jiwa yang tampil dalam jasad 'sastra'. Su adalah keindahan, yang dalam masalah ini dapat diartikan juga sebagai pokok pikiran, nasehat-nasehat yang baik, yang lahir dari hasil renungan jernih seorang sastrawan. Su adalah isi itu sendiri. Sedangkan sastra dapat diartikan tulisan, abjad-abjad, kertas, atau pun tinta yang melafalkan su tersebut. Ia hanyalah media artikulasi untuk menghantarkan sebuah 'isi' kepada khalayak. Demikian kira-kira salah satu poin yang mampu tertuang dalam Obrolan Seni & Sastra bersama Emha Ainun Nadjib di Wisma Nusantara Kairo kemarin (29/4) sore.

Obrolan yang dimaksudkan untuk membuka pintu bagi bangkitnya keusasteraan Indonesia, khususnya bagi kalangan Masyarakat Indonesia di Mesir ini, diselenggarakan atas kerjasama LSBNU Kairo dan Buletin Budaya Kinanah. Acara ini terbilang mendadak karena sosialisasinya berjalan dari mulut ke mulut satu hari sebelum hari H. Namun cukup sukses jika melihat jumlah peserta. Terbukti ruang aula Wisma Nusantara yang mampu menampung lebih 300 orang hampir penuh disesaki peminat sastra yang kebanyakan mahasiswa Indonesia pecinta sastra di Kairo.

Menyinggung kaitan antara industrialisasi dan sastra, Cak Nun—demikian Emha akrab dipanggil—mencoba mejelaskan hal ini menuju substansi yang lebih dalam. Seperti agama yang bersifat ruhi, maka sastra juga akan selalu dihantam oleh segala yang bersifat material (madi). Dalam menumbuhkan rasa optimisme terhadap kelanggengan sastra, Cak Nun memaparkan keselarasan antara ruh, agama, sastra dan benda-benda 'halus' lainnya. Antara 'yang halus' dan 'yang kasar'. Api adalah contoh yang bisa merasionalisasikan persinggungan antara 'yang halus' dan 'yang kasar' itu. Kita tidak bisa melihat inti api. Kita hanya tahu wujud api setelah ia menyentuh sebuah benda. Jadi yang panas itu belum tentu api, namun sifat api adalah panas. Warna merah yang kerap muncul sebagai perwujudan api, bukanlah api itu sendiri. Api tak mempunyai takaran untuk menentukan satuan berat dan panjangnya. Jika api yang kecil membakar sebuah benda, maka seluruh benda itu akan terus dilalapnya sebesar apa pun benda itu.

Satu hal menarik yang dipetik Cak Nun setelah melakukan dialog, dimana beberapa peserta merasa khawatir akan terkuburnya sastra karena marginalitas yang begitu kuat, bahwa selamanya: "sastra akan tetap marginal," ungkapnya. Dan kita tak perlu takut akan hal ini. Karena sastra tak akan mati oleh sebab ke-marginal-an itu. Sastra akan terus hidup jika ada yang mempunyai kepedulian untuk itu. Hanya mungkin yang akan mati medianya. Karena media erat lagi kaitannya dengan industrialisasi. Jika sebuah media sastra dianggap tidak layak jual, maka media itu akan gulung tikar. Tapi sastra itu sendiri tak akan pernah gulung tikar. Ia terus hidup dalam jiwa pengarang dan orang-orang yang memiliki rasa kesusasteraan.

Dalam obrolan ini, Cak Nun beberapa kali memaparkan pemikirannya dengan jalan yang agak menukik pada hal-hal substansi total. Menurutnya, kebenaran akan selalu marginal. Penyebabnya jelas: ada sesuatu yang menekan kebenaran itu agar selalu menjadi inferior. Ada pertarungan antara yang benar dan yang salah. Antara hakikat dan setan. Seperti agama, ia akan selalu didesak agar menjadi terkucil dalam arus industrialisasi.

PELOPOR TEMATIK-TEMATIK SASTRA BARU

Menurut Aguk Irawan, seorang mahasiswa penulis sastra yang dalam obrolan kemarin menjadi pendamping Cak Nun, mahasiswa Indonesia di Kairo kurang mendapatkan kesempatan dalam mengapresiasikan minatnya ini di tingkat nasional. Di Indonesia sendiri, yang selalu muncul mengisi koran-koran dan majalah selalu saja pemain lama. Padahal menurutnya, kemampuan dan perhatian mereka terhadap sastra layak ditampilkan juga. Dalam perkembangannya, saat ini banyak sekali karya-karya sastra yang dicetak secara pribadi (indie) beredar di Kairo. Baik berupa buletin, kumpulan cerpen atau pun puisi. Beberapa penulis -seperti Aguk sendiri-, bahkan sempat malang melintang membuka link ke Indonesia dengan cara mengirimkan dan menerbitkan karyanya di sana. Beberapa dimuat di koran-koran nasional dan beberapa menjadi buku. Aguk sendiri pernah menerbitkan buletin Kinanah di bawah LKiS Jogja. Namun lemahnya apresiasi masyarakat karena selalu memandang terlebih dahulu nama penulis, menjadikan karya-karya mereka terkubur. Kinanah gulung tikar, buku-buku mereka tak bisa meledak.

Menurut Cak Nun, saat ini memang ada kecenderungan pergeseran minat masyarakat terhadap karya sastra. Yang cukup aneh, ada karya-karya penulis muda yang tidak mempunyai background sastra, mampu meledak dan dianggap salah satu karya sastra dengan mutu tinggi. Kasus Supernova-ny Dewi Lestari juga disinggung dalam hal ini.

Cak Nun mengakui semasa orde baru dunia kesusasteraan Indonesia merosot tajam. Ada pengkebirian besar-besaran. Tidak ada karya besar yang tampil ke permukaan. Sebab itu pulalah yang membuatnya uzlah dari kegiatan sastra. Agar sastranya tak pernah mati, Cak Nun membawakannya dengan caranya sendiri yang independen, tak mempunyai keterkaitan dengan institusi apapun. Salah satunya barangkali yang bisa kita lihat melalui proyek Kiyai Kanjeng. "Siapa bilang sastra saya hilang. Saya selalu membawa sastra saya ke mana-mana," tangkisnya ketika dituduh peserta telah kalah dalam memperjuangkan sastra. Seharusnya, pada masa orde baru lahir karya-karya yang mampu mencerminkan zamannya sendiri sehingga mampu membedakannya dari angkatan-angkatan sebelumnya. Tema-tema yang bisa diangkat tak pernah habis, bahkan selalu saja muncul. Dia mencontohkan kasus Marsinah yang tak pernah mampu dilegendakan dalam sebuah karya sastra yang menggoncangkan.

Dalam kaitannya dengan kesempatan terhadap Mahasiswa Indonesia di Kairo, Cak Nun memberikan apresiasi yang cukup positif. Saat ini memang sedang dinantikan kebangkitan institusi sastra Indonesia. Untuk proyek ini, dukungan dari para pelaku sastra sangat diperlukan. Di Indonesia sampai kini baru ada satu institusi sastra yang terbilang kuat, yaitu Horison. Namun untuk pembangunan ke depan, beberapa tokoh sastra nasional saat ini tengah mempersiapkan langkah pendirian institusi yang kuat. Salah seorang dari mereka Taufik Ismail. Dari sini Cak Nun sangat berharap akan lahir tematik-tematik kesusasteraan yang sama sekali baru, yang mampu meneriakkan suara zamannya. "Mahasiswa di sini (Kairo) harus mampu jadi pelopor lahirnya tema-tema baru itu. Anda mempunyai kemampuan untuk menulis tentang Irak, misalnya, yang akan kesulitan ditulis oleh penulis-penulis kita di Indoensia," tambahnya

4 Comments:

Blogger Ladang Sunyi said...

Benarkah Sastra Islam Ada?
Oleh: Matroni A el-Moezany*

Selama ini sastra hanya berkutat pada ranah yang bernuansakan sastra pemberontakan, sastra romantis, seperti setiap minggu di Koran Sindo, setelah saya amati setiap hari Minggu Koran Sindo Pasti edisi sastra khsusnya puisi. Pasti puisi-puisinya romantis yang dimuat. Bahkan puisi romantis tidak ber-roh. Bukannya penulis tidak sejutu dengan puisi semacam itu, tapi bagaimana kita menjaga eksistensi perkembangan sastra yang lebih serius lagi.
Berbicara mengenai sastra Islam di Indonesia, hampir selalu mengundang polemik. Polemik tersebut bahkan tak beranjak dari hal yang itu-itu juga, yaitu pro dan kontra mengenai apa yang disebut sebagai “pengkotak-kotakan sastra”, serta masalah definisi dan kriteria sastra Islam. Uniknya, pihak yang tidak setuju dengan istilah atau konsep “sastra Islam” justru didominasi oleh kalangan muslim sendiri.
Begitu pula dengan A. Hasjmy yang memiliki perhatian yang besar terhadap kesusastraan Islam. Ia lebih banyak membahas karya para pengarang hikayat Aceh atau lagi-lagi berhenti pada angkatan Pujangga Baru. Sementara Ali Audah yang juga tertarik di bidang tersebut, lebih sering membahas sastrawan-sastrawan Islam dari Timur Tengah atau Mesir.
Pembahasan tentang sastra Islam saat ini di Indonesia menjadi sangat minim, kalau boleh dikatakan nyaris tak ada. Mati?. Jangankan pembahasan karya, apa itu sastra Islam saja sampai saat ini masih kabur alias tak ada rujukan yang jelas, baik dari para sastrawan sendiri, kritikus maupun ulama.
Sebenarnya cukup banyak beberapa sastrawan muslim yang memberi istilah sendiri pada karya sastra yang dibuatnya yang mengarah pada “sastra Islam” Istilah-istilah tersebut berakar pada wacana keimanan atau religiusitas yang dibawanya. Ada yang menyebutnya sastra pencerahan (Danarto), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufistik (Abdul Hadi WM), sastra zikir (Taufiq Ismail), sastra terlibat dengan dunia dalam (M. Fudoli Zaini), sastra transenden (Sutardji Calzoum Bachri), dan sebagainya. Namun selain Abdul Hadi WM, tak satu pun yang mengidentikkan penyebutan tersebut dengan sastra Islam, walau sebenarnya hal tersebut, tak bisa dinafikan, merupakan tafsir lain dari sastra Islam.
Polemik tentang sastra Islam selama ini membuat cukup banyak kalangan bingung dan terus mencari-cari informasi tentang hal tersebut. Apalagi perihal sastra Islam jarang disinggung oleh para sastrawan, kritikus bahkan ulama karena tidak atau belum dianggap sebagai sesuatu yang penting.
Padahal dalam konteks Islam, semua yang dilakukan seorang muslim seharusnya merupakan bentuk dari ibadahnya kepada Allah, termasuk dalam berkesenian dan bersastra, sebagaimana yang dikatakan Allah "Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusiamelainkan untuk beribadah kepadaku.
Sastra dalam bahasa Islam (Arab) disebut adab. Mungkin di benak kita akan langsung mengkaitkannya dengan kesopanan. Sudah tentu untuk menjadi manusia yang baik kita haruslah beradab. Namun definisi adab dalam sastra jauh lebih besar daripada itu. Menurut Shauqi Dhaif, adab (sastra) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan, yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran. Dalam Islam, sastra haruslah mendorong hasrat masyarakat untuk menjadi pembaca yang yang baik. Masyarakatlah yang menjadi target utama pemahaman kesusastraan.
Definisi seni dan sastra Islam menurut Said Hawa dalam bukunya Al-Islam III, adalah seni atau sastra yang berlandaskan kepada akhlak Islam. Senada dengan Said Hawa, menurut Ismail Raja Al Faruqi, Seni Islam adalah seni infiniti (seni ketakterhinggaan), di mana semua bentuk kesenian diakomodir pada keyakinan akan Allah. Ia juga menyatakan bahwa ekspresi dan ajaran Al-Quran merupakan bahan materi terpenting bagi ikonografi seni atau sastra Islam. Dengan demikian seni Islam dapat dikatakan sebagai seni Qur'ani.
Harun Daud berkata, "Tujuan kesusastraan adalah untuk mendidik dan membantu manusia ke arah pencapaian ilmu yang menyelamatkan. Bukan untuk membentuk makna spekulatif. Sebuah karya sastra atau karya seni dalam Islam adalah alat atau bantuan dan bukannya pengakhiran realita itu sendiri." Sementara menurut Shanon Ahmad bersastra dalam Islam haruslah bertonggakan Islam, yaitu sama seperti beribadah untuk dan karena Allah.
Dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta, yang dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 para seniman, budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik, menyatakan bahwa yang disebut dengan kebudayaan, kesenian (kesusastraan) Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan ummat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia (l'art par die et l'art pour humanite) yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani.
Setahun sebelumnya, Majelis Seniman dan Budayawan Islam yang di antaranya terdiri dari Hamka, M. Saleh Suady dan Bahrum Rangkuti dalam bab tentang sikap Islam terhadap kebudayaan dan kesenian mengatakan, bahwa tujuan kebudayaan pada umumnya dan kesenian pada khususnya tidaklah semata bertujuan “seni untuk seni” atau “seni untuk rakyat” tetapi harus diluhurkan menjadi: “seni untuk kebaktian ke hadirat Allah” yang dengan sendirinya mencakup tujuan memajukan kesenian yang bermanfaat lahir batin dan untuk kemanusiaan.
Karya sastra Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnya kemaksiatan, secara vulgar dengan mengatasnamakan seni atau aliran sastra apa pun. Ia juga tak membawa kita pada tasyabbuh bi'l kuffar, apalagi jenjang kemusyrikan.
Sastra Islam akan lahir dari mereka yang memiliki ruhiyah Islam yang kuat dan wawasan keislaman yang luas. Penilaian apakah karya tersebut dapat disebut sastra Islam atau tidak bukan dilihat pada karya semata, namun juga dari pribadi pengarang, prosespembuatannya hingga dampaknya pada masyarakat. Sastra Islam bagi pengarangnya adalah suatu pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan pada umat dan Allah. Sastra dalam kehidupan seorang muslim atau muslimah pengarang adalah bagian dari ibadah. Tak bisa dipetakan secara tersendiri.
Dengan demikian, akhirnya, sastra Islam dan sastra bersumberkan Islam, adalah salah satu alternatif dalam memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia.
Kita tahu, Allah tak pernah memaksa manusia untuk memeluk Islam. "Laa ikraaha fiddiin" Begitu juga tak ada paksaan bagi para sastrawan muslim sekali pun untuk menulis dengan pola yang sudah digariskan oleh Islam, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al Quran maupun sunnah Rasulullah Muhammad saw. Semuanya kembali pada pilihan masing-masing. Sastrawan yang memilih jalan sastra Islam boleh saja menghimbau sastrawan lain untuk mengikuti jejaknya, namun tak boleh memaksakan kehendaknya, seperti apa yang dilakukan para sastrawan yang dahulu tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memaksa para sastrawan Indonesia untuk menulis dengan memakai ideologi mereka sebagai dasar.
Sebaliknya, adalah sesuatu yang bijak, bila kita juga menghargai dan menghormati sebagian kalangan sastrawan muslim yang telah memilih sastra Islam sebagai sarana berekspresi sekaligus sarana mereka dalam ber-ammar ma'ruf nahi munkar sebagaimana yang diperintahkan Allah.
Mengutip A. Teuw, bagaimana pun, konsep keindahan dan estetika bukan hanya dalam bidang kesusastraan amat berbeda antara kepercayaan Islam dengan kepercayaan Barat sekuler. Sekuler menilai keindahan sebagai freedom of expression, sementara Islam menilai keindahan sebagai sarana untuk menyampaikan kebenaran.


*Penggiat sastra dan budaya kutub dan aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI) tinggal di Yogyakarta

5:30 PM  
Blogger Ladang Sunyi said...

Sajak-Sajak: Matroni A el-Moezany*

Jika Airmata

Air mata menemani tidurku. Selalu
berhari-hari sepanjang kegelapan
dengan cerita dan dongeng yang terus melayang
dalam temaran
dari pulau peri dan bidadari
tak terukir
air mata yang terus bertutur
gemericik dalam diriku, hingga kini

Pagi hari kau cabut panah mainanku
dari hatimu yang berlumur darah
dan mengantarkan padaku, bagitu saja

Lalu engkau pun berlalu
seolah-olah itu adalah anggur

Yogyakarta, 2007

Aku Lebur

Aku lebur dalam panah yang kuasai
dimana aku hanya mampu bermimpi
tanpa ada daya untuk berpuisi
akankah aku terhenti disini?

Apakah aku yang ingin maju harus menjadi aku dalam diriku?
apakah aku bermimpi untuk menggapai matahari
yang tak henti-hentinya menangis
harus senantiasa yang lain
untuk menjadi pasaran
bagi aku yang seutuhnya

Yogyakarta, 2007

Matahari Bukan Lagi Jembatan Waktu

Matahari bukan lagi jembatan waktu
yang hidup tak terjamah kata

Matahari bukan lagi harapan yang tak pasti
di mana kita selalu
kerasan menanti waktu

Matahari bukan lagi ateis
yang tak henti-hentinya menyesatkan kita
bagai onthel dan derita

Matahari sudahlah sebuah figur sempurna
di bawah terik waktu yang gurun
dan kita di paksa mengambilnya, selalu
sementara kita sudah lama menderita

Yogyakarta, 2007

Jalan di Senja Hari

Jalan di senja hari
didetakan waktu sana pun jadi kenang
wajahmulah bertaburan di angkasa,
kuning lembut memukau

Masih kutunggu engkau
di senja terakhir

Masih kutunggu juga air mata terakhir
Lestari. Sehabis makan
ranting meletup kering di dada rapuh
dan habis pembakaran: tanah

Tiap engkau jadi aku
sungguh pertarungan tidaklah sama
sejak semula
dan tawaku di pesta-pesta, lalu
apalah guna tubuh
di atas ranjang berminyan

Aku hanya berlipstik jadi lingkaran
mementaskan semu
dan setelah tahu
akulah hampa

Tuhan, Syukran
Jalan senja juga, JalanMu

Yogyakarta, 2007

Di Atas Malam

aku merasa, Thary
ketika engkau minta cium
di atas malam
Ini memang soal etik
ini soal arah
maka kau pun kutatap
di atas sungai yang mengalir
kita terlalu lelah
tapi tak kuperlu kata sesudahnya
seperti bila orang Madura
menyuguhkan teh
dan kau harus minum, katamu

Yogyakarta, 2007

Tak Ada Kata Selain Dia

Tak ada kata selain dia
untuk dia

Dari Madura ke Jogja
terasa jauh dari matahari
Tapi terasa dekat sekali
derita itu
derita waktuku menyusul darah
dalam risau dan gelisah

Peradaban lebur dalam duka
Sunyi. Selain gemericik
dan bayu terdesah
di antara keping-keping salju

Seperti itu
aku pun tak mampu
dalam puisi
disinilah kataku padamu

Ya Tuhan
engkaulah yang penuh kuasa dan cinta
pada dunia tapi disitulah soalnya
dalam Yaasiin
dan matahari yang jauh
aku tak sampai ke sana
aku Cuma sampah yang mengaji
dalam jalan yang tak pasti

Ingin aku bicara pada al-Farabi
tentang ini
kukira ada samudera
tertuang dalam cangkir yang rapuh
dan suara itu suaraku pada alif lam mim yang terputus-putus
tenggelam dalam lembah suaramu

Yogyakarta, 2007

*Kelahiran Sumenep, aktif di Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI), Tulisannya di publikasikan di media, baik lokal maupun nasional. Tinggal di Yogyakarta

5:32 PM  
Blogger Ladang Sunyi said...

Catatan Hari Valintine 14 Februari

Gejolak Valentine dalam Islam

Oleh: Matroni A el-Moezany*




"Valentine" inilah yang menjadi istilah akrab dan begitu populer disebutkan untuk momentum 14 Februari. Momentum ini menyimpan nilai (value) tersendiri bagi mereka. Sehingga 14 Februari tidak sepi untuk diaktualisasikan sebagai perayaan khusus setiap tahun. Dimulai dari mengemas kado istimewa, melayangkan ucapan "happy Valentine", hingga mengadakan perayaan besar bagaikan perayaan pernikahan. Hal ini dinilai wajar untuk sebuah momentum yang "diistimewakan" itu.

Namun, kewajaran tersebut menjadi polemik, bahkan mengundang perbincangan hangat, saat Islam turut ambil bagian untuk mengistimewakan perayaan ini. Valentine yang diyakini sebagai budaya yang lahir dari agama Kristen telah melibatkan sebahagian besar remaja Islam untuk ikut merayakan. Hal ini dinilai salah, sehingga melahirkan justifikasi "haram" bagi umat Islam yang merayakan.

Ironisnya, kata-kata "haram" yang difatwakan untuk perayaan Valentine bagi umat Islam, tidak menjadikan pemeluk Islam (remaja) meninggalkan budaya Valentine ini, akan tetapi sebaliknya, perayaan tersebut justru mendarah daging dan "membumi" dalam masyarakat Islam pada umumnya. Apakah ini dikarenakan doktrin tersebut merupakan sebuah "ijtihad" baru yang kurang memiliki kejelasan hukum sebagaimana persoalan kehidupan lainnya, jelasnya kata-kata "haram" terhadap perayaan Valentine agaknya kurang memiliki "makna generik" yang pada akhirnya menjadikan fatwa tersebut kurang diindahkan.

Kesamaran Sejarah Valentine Berbeda dengan hari besar lain semisal 25 Desember sebagai hari natal, atau 12 Rabiul Awal yang merupakan hari kelahiran Muhammad SAW, 14 Februari sesungguhnya memiliki "kesamaran sejarah" sebagai sebuah momentum besar. Kebanyakan orang menyebut hari ini sebagai hari "kasih sayang", namun tidak ada landasan yang kongkrit dan argumentatif untuk menyanggah kebenarannya. Menurut Ensiklopedi Katolik (Catholic Encyclopaedia 1908), istilah Valentine yang disadur dari nama "Valentinus" paling tidak merujuk pada tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda, yaitu: seorang pastur di Roma, seorang uskup Interamna, dan seorang martir di Provinsi Romawi Afrika. Koneksi antara tiga martir ini terhadap perayaan hari kasih sayang tidak memiliki catatan sejarah yang jelas. Bahkan Paus Gelasius II pada tahun 496 M menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada hal yang diketahui dari ketiga martir ini. 14 Februari dirayakan sebagai peringatan santa Valentinus sebagai upaya mengungguli hari raya Lupercalica (dewa kesuburan) yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa jenazah santo Hyppolytus yang diidentifikasi sebagai jenazah santo Valentinus diletakkan kedalam sebuah peti emas dan dikirim ke gereja Whiterfiar Street Carmelite Churc di Dublin Irlandia oleh Paus Gregorius XVI pada tahun 1836. Sejak itu, banyak wisatawan yang berziarah ke gereja ini pada tanggal 14 Februari. Pada tanggal tersebut sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.

Catatan pertama yang dikaitkan dengan hari besar santo dengan kasih sayang dimulai sejak abad ke-14 di Inggris dan Prrancis, dimana hari ini diyakini bahwa 14 Februari merupakan hari ketika burung mencari pasangan hidupnya. Keyakinan ini ditulis dalam karya sastrawan Inggris abad ke-14 bernama Geoffery Chaucer. Dalam karya tersebut dia menuliskan: "…for this was sent on seynt valentyne’s day,…when every foul cometh ther to chosehis matc (inilah yang dikirim pada hari santo Valentinus,…saat semua burung datang kesana untuk memilih pasangannya)".

Sumber lain dari sebuah kartu Valentine abad ke-14 yang konon merupakan bagian dari koleksi pernaskahan British Library di London menceritakan beberapa legenda santo Valentinus, diantaranya mencatat bahwa: sore hari sebelum Valentinus gugur sebagai syuhada, ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikan kepada sipir penjaranya bertuliskan "dari Valentinus". Konon ketika itu serdadu Romawi dilarang menikah oleh Kaisar Claudius II, santo Valentinus secara rahasia membantu menikahkan mereka. Itu sebabnya pada zaman tersebut para pasangan yang tengah menjalin cinta lazim bertukar catatan dan memanggil pasangannya sebagai "Valentine".

Aktualisasi Perayaan Valentine Sekelumit catatan "sejarah samar" latar belakang perayaan Valentine yang dipaparkan diatas sesungguhnya masih belum cukup beralasan untuk mengaitkan 14 Februari dengan hari kasih sayang. Anehnya, sampai hari ini aktualisasi perayaan Valentine semakin tumbuh subur dan berkembang pesat laksana pertumbuhan jamur di musim hujan. Padahal, tanpa disadari perayaan ini telah dihapus dari kalender gereja sejak tahun 1969 sebagai sebuah upaya menghilangkan keyakinan terhadap santo-santa yang asal mula sejarahnya hanya sebatas legenda dan masih perlu dipertanyakan.

Aktualisasi perayaan Valentine yang semakin subur saat ini dapat dilihat dibeberapa wilayah dunia yang turut menyisihkan waktu untuk merayakannya. Seperti di Jepang, hari Valentine, berkat marketing besar-besaran, sebagai hari dimana para wanita memberikan pria yang mereka senangi permen coklat. Ini tidak dilakukan secara sukarela, melainkan sebagai sebuah kewajiban, khususnya bagi mereka yang bekerja di Kantor. Dengan sedikit penambahan ciri khas, Thaiwan juga mengaktualisasikan perayaan Valentine semacam ini. Di Prancis perayaan Valentine dimeriahkan dengan pesta kembang api, sementara di Australia para remaja biasa kumpul disepanjang jalan bersama teman-teman dan pasangan mereka untuk merayakan Valentine. Pada saat yang sama, Valentine dikecam oleh orang Melayu di Malaysia. Dan tanpa disadari pula, budaya bertukaran kado Valentine antara sepasang kekaasih pada tanggal 14 Februari mulai muncul di Indonesia.

Islam sendiri dan Argumentasi tentang gejolak hari Valentine. Dari berbagai macam warna dan bentuk aktualisasi perayaan Valentine diseluruh penjuru dunia, Islam justru hadir sebagai institusi yang menolak perayaan Valentine tersebut. Arab Saudi misalnya, sebagai wilayah yang dianggap kiblat muslim diseluruh dunia, telah mengharamkan Valentine bagi umat Islam karena dinilai sebagai perayaan kaum Kristen yang penuh kekufuran. Padahal dengan alasan yang tidak jelas, umat Islam di Indonesia (pada umumnya) sebagai negara pemeluk Islam terbanyak di dunia, telah menjadikan Valentine sebagai bahagian yang mesti dirayakan setiap tahunnya oleh para remaja.

Barangkali ada benarnya "falsafah kosong" yang menyebutkan "hukum dibuat untuk dilanggar", sehingga dengan serta merta Valentine yang telah di justifikasi "haram" bagi pemeluk Islam begitu leluasa mengakrabkan diri. Agaknya syariat kurang berlaku dalam tataran ini. Atau justru syariat memang tidak lebih dari seperangkat aturan yang terikat ruang dan waktu, serta terkungkung keadaan tertentu, sehingga perayaan Valentine boleh jadi "berganti wajah" dalam perspektif hukum Islam sesuai dengan keadaannya. Sebagaimana pembelaan pemikir rasional, bahwa tidak ada statement yang qathi (jelas) didalam al-Qur’an maupun hadits terhadap pelarangan perayaan Valentine, sekalipun itu budaya yang tidak lahir dari Islam itu sendiri.

Dengan realitas seperti itu, perayaan Valentine semakin subur ditengah masyarakat Islam Indonesia, agaknya syariat memang perlu menghadirkan argumentasi baru yang lebih memiliki makna generik serta terlepas dari sikap eksklusif yang menekankan prinsip bahwa Valentine lahir dari ajaran Kristen. Dengan kata lain, sungguhpun tidak ditemukan literatur lain selain literatur Kristen yang mampu menghantarkan sejarah Valentine, dan hal ini menandakan bahwa Valentine tidak dapat dibantah sebagai budaya yang datang dari ajaran Kristen, tetap saja ada nilai eksklusif yang akan lahir jika Islam menolak perayaan tersebut dengan alasan ini.

Oleh karenanya, kurang tepat jika Valentine dirayakan umat Islam dengan alasan turut merayakan hari kasih sayang. Padahal, Kristen sendiri sebagai institusi yang memulai propaganda perayaan tersebut, pernah menghapuskan penanggalan ini dari kalender gereja dengan alasan sejarah yang tidak jelas. Naif sekali jika umat Islam yang notabenenya "ikut-ilutan" justru menjadi vigur yang paling "semangat" merayakan Valentine tersebut.






*Pemerhati budaya dan agama institut University Yogyakarta

5:53 PM  
Blogger Ladang Sunyi said...

Budaya dan Pencerahan

Oleh: Matroni A el-Moezany*




Sekitar 220 tahun yang lalu, Immanuel Kant menulis sebuah risalah kecil yang berjudul "Apa Itu Pencerahan?". Atau dalam bahasa Jerman, aufklarung. Risalah ini merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilontarkan banyak intelektual pada masa itu.

Menurut Kant, pencerahan adalah bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan. Sedangkan ketidakmatangan sendiri adalah "ketidakmampuan kita menggunakan penalaran pribadi" dan keinginan untuk selalu merujuk dan menggunakan pendapat orang lain. Manusia menjadi tidak matang bukan karena dia tidak mau berpikir, tapi karena dia takut menggunakan pemahamannya sendiri.

Inti dari zaman pencerahan di Eropa di mana Kant sebagai salah satu pionirnya adalah anjuran untuk menggunakan pemahaman sendiri, dan membuang jauh-jauh pemahaman orang lain yang tidak relevan. Selama kita masih bergantung kepada pemahaman orang lain, selama itu pula kita tak akan pernah matang bahkan kita akan mati. Dan karenanya, tak akan bisa tercerahkan.

Semboyan pencerahan yang sangat terkenal adalah "Sapere Aude!" yang berarti "beranilah menggunakan pemahaman Anda sendiri!" Dengan kata lain, orang yang tidak berani menggunakan pemahamannya sendiri bukanlah orang yang tercerahkan.

Yang ditekankan dalam pencerahan ini bukanlah "menggunakan pemahaman sendiri," tapi "berani." Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan (religiusitas) yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, Sayyed Hosen Nasr, Mulyadi Kartanegara, Hasan Hanafi, Nurkholis Madjid, Quraysyi Syihab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.

Pencerahan disini memerlukan kedewasaan dan kematangan dari kita. Orang yang selalu menganggap orang lain lebih besar dan lebih otoritatif dari dirinya, tak akan pernah bisa dewasa dan tak akan pernah bisa matang. Hal-hal baru ditemukan bukan dengan mengulang-ngulang pendapat lama, tapi mencari sendiri pendapat baru secara kreatif. Pengulang-ulangan pendapat orang lain tak akan membawa seseorang ke mana-mana, kecuali ke masa silam itu sendiri, yang menjadi rujukannya.

Gerakan budaya modern saat ini membutuhkan sebuah gambaran yang jelas atau katakanlah sebuah "peta" paling tidak "tipe ideal" dalam istilah Max Weber, peta yang kita butuhkan adalah peta yang menggambarkan mengenai kebudayaan kita sendiri (kearifan lokal), dihadapan kebudayaan manusia secara holistik-uneversal. Dimana budaya hadir dengan wajah yang muram dan suram di tengah gejolak globalisasi yang merasuki bangsa tercinta ini. Lantas bagaimana agar budaya kita tidak lagi sakit "cultural shock".

Geralakan budaya adalah gerakan pencerahan. Ia seperti gerakan aufklarung di Jerman yang dimotori oleh Kant. Para budayawan kita adalah orang-orang yang tercerahkan dan orang-orang yang telah mendapatkan kematangan dirinya.

Dalam peta kehidupan masyarakat modern yang menjunjung tinggi budaya pragmatis, nilai-nilai tradisional yang menjunjung tinggi harmoni, keluhuran, dan lainnya, cenderung tersingkir, tergusur. Sebab nilai-nilai tradisi itu di pandang relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Demikian pula dengan hujatan yang lahir dari kebudayaan Barat. Di sini kita membutuhkan keberanian. Sebab "Keberanian" seperti juga "kebebasan." Ia adalah suatu konsep yang paling sulit diterima manusia. Karena manusia cenderung menerima apa yang sudah ada, yang sudah jadi, tanpa adanya suatu proses. Sesuatu yang "liar" dan "tanpa batas" adalah sesuatu yang menakutkan. Karenanya, buat mereka, lebih baik menerima kondisi yang ada, meskipun itu buruk dan tidak indah.

Walau pun Banyak para filsuf atau sosiolog yang telah mencoba menggambarkan "peta" tersebut, misalnya filsuf positivis Aguste Comte, menggambarkan perubahan dari masyarakat agama ke masyarakat metafisik hingga kepada masyarakat positif yang berkembang pesat pada saat sekarang ini. Selain itu juga, filsuf Belanda , CA Van Peursen yang dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1993) secara panjang lebar membahas modernisasi dengan tipe "fungsionalnya" sebagai puncak perubahan dari masyarakat yang bersifat "kebudayaan ontologis" di abad pertengahan.

Orang-orang yang tercerahkan seperti itu selalu berpikir ke depan dan selalu memikirkan kemungkinan yang lebih baik dari kondisi yang sudah ada. Karena itulah mereka berani menggunakan pemahamannya sendiri dan membuang jauh-jauh pandangan-pandangan dari masa silam yang tidak lagi relevan.

Selama kita masih terus mengulang-ulang pendapat orang-orang di masa silam dan takut mengemukakan pendapat kita sendiri, selama itu pula kita tak pernah tercerahkan.




*Mahasiswa Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga semester 3.

5:53 PM  

Post a Comment

<< Home