“Sebab tubuh adalah kompleksitas.”
Esay Rohyati Sofjan
03 Desember 2004 - 05:41 AM -------------------------------------------------------------------------------
Kalimat di atas merupakan kutipan prolog dari surel (surat elektronik) untuk seorang kawan sesama peminat sastra kelahiran Riau yang kini bermukim di Batam; kala saya dipancing terus untuk membahas seksualitas dalam karya sastra sampai kehidupan.
16 halaman, arial, 10 pint, 1,5 spasi berbentuk semi-esai dengan subject V untuk beberapa tajuk Virgin, Vagina, Vulgar, dan Voila! ternyata telah "mengaparkannya". Adu debat yang panas mengenai wilayah selangkangan tampaknya merupakan topik aktual sepanjang masa untuk memikat siapa saja.
Lalu topik tersebut diangkat Aguk Irawan Mn. lagi dengan "Sastra Seksual dan Pembusukan Budaya"(Republika, 10 Oktober 2004). Sebuah pandangan yang terasa male bias dan penuh prasangka ketika menyorot seksualitas yang diusung perempuan penulis di Indonesia.
"Menghasilkan karya sastra seks liar, berarti menyaksikan diri kita bermain di dalamnya. Inilah teori kebudayaan. Sebab sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan; sebagai semacam cermin yang memantulkan kehidupan kita sehari-hari. Dan seks adalah bagian yang sangat indah dari manusia karena menyangkut penyatuan jiwa."
Demikianlah paragraf ketiga menyiratkan paparan Aguk yang cenderung idealis dalam menilai seks sementara realitas sekitar menyuratkan hal yang terkadang bertolak belakang akan posisi seks secara ideal. Tak ada yang salah dari idealisasi seks ala Aguk, masalahnya setiap orang lahir dan dibentuk oleh persepsi yang mereka lakoni sepanjang usianya sehingga idealisme tersebut boleh jadi bertabrakan dengan paradigma seks yang jungkir balik.
Jika Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, sampai Dinar Rahayu (yang ayu-ayu) berikut sederet nama perempuan penulis lainnya (yang ayu maupun tidak) mengusung seksualitas dalam karyanya, boleh jadi merupakan cermin kehidupan mereka dalam memandang dunia yang jungkir baik tatanannya.
Lantas mengapa mereka pada umumnya memulai dengan wacana tubuh? Bagi Melani Budianta dalam wawancaranya dengan Jurnal Perempuan (No.30. 2003), berpendapat: "Karena tubuh bagian yang paling dekat denganperempuan. Dalam wacana-wacana lama, fungsi seksualitas perempuan dekat dengan melahirkan anak atau mereproduksi dan kemudian hidupnya diabadikan untuk membesarkan anak. Jadi perempuan cenderung tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Gerakan perempuan sudah menunjukkan bahwa semua orang berhak atas tubuhnya. Perempuan juga berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya sendiri. Mungkin ini menjadi baru ketika biasanya begitu sopan santun terjaga, sehingga sedikit mengejutkan, barangkali. Tapi buat negara-negara tertentu hal ini sudah lama terjadi."
Demikianlah Melani Budianta berusaha objektif menilai dalam sudut pandangnya selaku kritikus sastra perempuan dan staf pengajar FIB UI. Sayangnya objektivitas tersebut tidak saya peroleh dari tulisan Aguk yang menyandingkan betapa kecilnya posisi perempuan penulis (seksualitas) di Indonesia dibanding nama-nama besar semacam Dante, Shakespeare, Cervantes, Goethe, Schiller, Balzac, Dostoyevski, Tolstoi, Neruda, Allende, Marquez, Coelho, Iqbal, Mutanabi, sampai Gibran dan sebagainya (yang barangkali nama lelaki pula).
Mengapa Aguk tidak menyandingkannya dengan nama perempuan penulis yang telah mendunia pula? Apakah keberadaan mereka memang dianggap in absentia untuk dilawanpadankan dengan perempuan penulis Indonesia yang "bukan apa-apa"?
Bagaimana dengan Simone de Beauvoir, tokoh eksistensialis dan feminis Prancis yang dalam trilogi novel Perempuan yang Dihancurkan (Bentang, 2003) takmengupas seksualitas secara vulgar melainkan tajam dan personal namun sangat menikam karena berkaitan dengan psikologi jiwa perempuan yangterperangkap dalam tubuhnya?
Atau Amy Tan dalam novel The Kitchen God’s Wife (Gramedia, 1994), memaparkan penderitaan Jiang Weili kala bersuamikan seorang lelaki tipikal "Dewa Dapur" yang buruk perangai. Di sana adegan seks bagi Amy cukuplah sebagai seks, bukan sesuatu yang harus “diperbuas” demi erotisme. Sebab Amy lebih fokus pada perjalanan hidup seorang perempuan yang melakoni kehidupan di Shanghai pada tahun 1920-an, lalu terjebak dalam Perang Dunia ke II sampai terdampar di Amerika dan memiliki kehidupan sebagai ibu yang bermasalah dengan anak perempuannya.
Namun tentunya ini merupakan semacam perkecualian, sebab di negara lain, seks pun bisa saja dipaparkan secara erotis sesuai selera pengarangnya. Baik lelaki maupun perempuan. Dan hal itu dianggap wajar atau malah bagian dari “keindahan”.
Ambil contoh, Albert Wendt dengan Codot di Pohon Kebebasan (YOI, 1995), sastrawan Samoa itu begitu enteng dan penuh prasangka dalam memandang seksualitas perempuan dengan cara penulisan yang male bias -- dan erotis meski parodis.
Lain lagi dengan Lina Espina Moore, dalam cerpen “Lelaki di Simpang Jalan” (antologi cerpen Lelaki di Simpang Jalan, YOI, 1988). Perempuan cerpenis Filipina ini terasa berani mendeskripsikan rincian perselingkuhan antara Dok Bahay dengan sekretarisnya dalam repetisi kalimat yang tak terbayangkan.
Di sana seks bermain dalam wilayah imajiner masing-masing penulis untuk turut diimajinasikan pembacanya pula dengan interpretasi makna yang berbeda.
Persoalannya, kembali pada seksualitas perempuan penulis di Indonesia yang menurut Aguk karya mereka menjurus rendah nilai estetikanya, jumud, elitis dan eksklusif; apakah semudah itu menggeneralisasi karya demikian? Bagaimana dengan pencarian bentuk tak bertepi yang barangkali sedang mereka lakukan? Bisa saja mereka terjebak dalam nilai komersial sehingga asyik bermain dalam wilayah selangkangan karena tuntutan “pasar”.
Pertanyaannya, bagaimana “pasar” itu bisa terbentuk? Apakah sengaja dibentuk sesuai pesanan atau keinginan masyarakat sendiri? Atau malah produsen (baca: penerbit) yang mendesakkan ideologi macam itu pada perempuan penulis untuk dilempar ke masyarakat luas? Atau memang merupakan kesadaran total perempuan penulis sendiri untuk bebas berekspresi dengan mengusung seksualitas dalam karya sastra? Toh, hal itu cukup laris pula.
Ada yang membingungkan mengapa Aguk mesti membandingkan fase kesusastraan saat ini dengan penulisan sastra masa jahiliyah yang ribuan tahun lalu usianya, sebab saya mengalami kesulitan untuk melakukan perbandingan karena tak berkompeten dalam bidang itu. Lalu mengapa pula nama Taha Husain kembali diungkit-ungkit? Bukankah di masanya Taha sendiri sempat dikecam oleh sebagian kalangan yang ingin memurnikan ajaran agama Islam karena ide-idenya dianggap liberal dan menyimpang dengan buku Fish Shirul Jahili (1926).
“Taha Husain yang pernah menjadi Menteri Pendidikan ini melakukan upaya sadar untuk menebar tanah Mesir dengan benih-benih budaya dan pendidikan Eropa. Imbauannya untuk membangunkan kembali budaya Firauni atau Yunani di Mesir dengan mengorbankan budaya Islam, mengguncangkan kaum fundamentalis. Kontradiksi Taha Husain cukup jelas. Budaya-budaya Firauni atau Yunani kuno tidakklah sama dengan budaya Eropa modern. Ia bekerja saam dengan rekannya Muhammad Husain Haikal untuk membangkitkan kembali budaya-budaya Firauni, Babilonia dan Assiria di Mesir. Karena semangat Firauni merupakan bagian dari Jiwa Mesir dan tidak dapat dihapuskan dari diri dan identitasnya, maka semangat ini harus dilestarikan dengan prioritas pertama adalah orang-orang Mesir kemudian yang lainnya. Klaim Taha Husain mencapai puncaknya ketika ia menyatakan bahwa Islam gagal untuk mengislamkan diri Mesir.” (Syed Habibul Haq Nadvi, Dinamika Islam, Risalah, 1984: 152)
Saya ingin menyandingkan pernyataan di atas tersebut dengan pernyataan Aguk di paragraf terakhir yang patut direnungkan:
“Dengan demikian, maka jangan berharap seksualitas fiksi perempuan memiliki peluang untuk hadir sebagai karya sastra besar (magnum ovus) yang tak lekang dimakan zaman. Tren ini hanyalah sastra populer yang menggebrak jagat sastra kita yang sejenak memang membeku. Maka untuk apa diapresiasi lebih lanjut lagi? Apalagi untuk dibanggakan.”
Begitu kritis Aguk mempertanyakan, seolah-olah penulisan seksualitas lebih membahayakan daripada ranah pemikiran politik. Padahal seksualitas sendiri tidak sesederhana itu. Ada kompleksitas yang menyertainya, namun kompleksitas itu pun penuh jebakan. Baik bagi perempuan penulisnya sendiri sampai pembaca.
Dalam wawancaranya dengan majalah Syir’ah No. 31 (Juni, 2004), Abidah El Khalieqy berujar, “Di semua ilmu pengetahuan: filsafat, sosiologi, dan lain sebagainya, kita akan menemukan perempuan diposisikan tidak pada posisi yang sebenarnya.” Begitulah Abidah berusaha menggugat agama lewat sastra.
Dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Pustaka Pelajar, 2003), Mansour Fakih menulis: Dewasa ini agama mendapat ujian baru karena agama sering dianggap biang masalah, bahkan dijadikan kambing hitam atas terjadinya ketidakadilan gender. …Sejauh manakah pandangan tersebut dipengaruhi oleh atau memengaruhi kultur yang dikenal dengan patriarki? Lebih lanjut, apakah pelanggengan ketidakadilan gender secara luas dalam agama bersumber dari watak agama itu sendiri ataukah justru dari pemahaman, penafsiran, dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi kapitalisme maupun pandangan-pandangan lainnya? (Hlm. 128)
Jadi, dalam dunia yang bobrok, seks pun penuh interpretasi makna.***
Biodata Penulis
Rohyati Sofjan lahir di Bandung, 3 November 1975. Anggota milis guyubbahasa, mnemonic, penulislepas, bengkel-cerpen-nida, dan kunci-l. Sebagian karya proses kreatifnya yang berupa puisi, cerpen dan esai bertebaran di Pikiran Rakyat, Galamedia, Annida, buletin Jendela Newsletter, antologi puisi bersama Bandung dalam Puisi, Republika, Cybersastra, PETA NEWS, Syir’ah, Jawa Pos, dan beberapa pemikiran subjektif yang mempribadi tentang sastra dan hal ikhwal kehidupan dalam surel-surel panjang secara berantai ala milis yang ia kirim untuk beberapa kawan penulis dan peminat sastra. Masih bekerja di toko elektro. Alamat korespondensi: gurun_vanbandung@yahoo.com.
Bandung, 15 Oktober 2004, dini hari 01.35 WIB
0 Comments:
Post a Comment
<< Home